SUNGAILIAT ATAU SUNGAILEAT (Bagian Delapanbelas)
Akhmad Elvian-screnshot-
Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
BERKAT Rakhmat Allah SWT perjuangan yang panjang rakyat Kepulauan Bangka Belitung, sampai tibalah saat bahagia, pada Tanggal 21 November Tahun 2000.
--------------
SIDANG Paripurna DPR RI mengesahkan terbentuknya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang kemudian ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 27 Tahun 2000, dan diundangkan pada Tanggal 4 Desember Tahun 2000. Momentum ketuk palu di DPR RI pada tanggal 21 November 2000 kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 8 Tahun 2003. Dirgahayu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Negeri Serumpun Sebalai, yang Aman Sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat ini Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang diperjuangkan selama Tiga Generasi hampir berusia 25 Tahun.
Perubahan Wilayah Kabupaten Bangka yang beribukota di Kota Sungailiat, kemudian terjadi setelah terbentuknya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan dilakukannya pemekaran jumlah kabupaten di Pulau Bangka dengan terbitnya Undang undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung Timur di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pembentukan 3 Kabupaten baru dalam wilayah Kabupaten Bangka bertujuan untuk memacu kemajuan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada umumnya, serta memacu kemajuan Kabupaten Bangka pada khususnya. Pemekaran dengan pembentukan kabupaten baru karena adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, terutama untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan dengan rentang kendali yang singkat, memudahkan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, dan pelaksanaan pembangunan lebih terfokus lagi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya pembentukan kabupaten baru dilakukan juga dengan pertimbangan perkembangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, kondisi sosial budaya, kondisi sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lainnya.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung saat terbentuk memiliki luas wilayah sekitar 16.423,54 km2 dengan jumlah penduduk pada Tahun 2002 sebelum pemekaran kabupaten berjumlah 926.252 jiwa telah menunjukkan kemajuan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang dalam perkembangannya perlu ditingkatkan sesuai dengan potensi daerah, luas wilayah dan kebutuhan pada masa mendatang. Dalam rangka peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan di Kabupaten Bangka yang mempunyai luas wilayah sekitar 11.534,14 km2 perlu dibentuk Kabupaten baru pemekaran yaitu Kabupaten Bangka Selatan yang terdiri atas 5 (lima) kecamatan, yaitu Kecamatan Simpangrimba, Kecamatan Payung, Kecamatan Airgegas, Kecamatan Toboali, dan Kecamatan Lepar Pongok dengan luas wilayah keseluruhan sekitar 3.607,08 km2. Kabupaten Bangka Selatan adalah eks. Kewedanaan Bangka Selatan yang beribukota di Kota Toboali; selanjutnya Kabupaten Bangka Tengah yang terdiri atas 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Pangkalanbaru, Kecamatan Koba, Kecamatan Sungaiselan, dan Kecamatan Simpangkatis dengan luas wilayah keseluruhan sekitar 2.155,77 km2. Kabupaten Bangka Tengah adalah eks. Kewedanaan Bangka Tengah yang dulunya beribukota di Kota Pangkalpinang, akan tetapi kemudian berdasarkan Undang undang Nomor 5 Tahun 2003 ditetapkan ibukota Kabupaten Bangka Tengah berada di Kota Koba; dan kemudian berikutnya adalah Kabupaten Bangka Barat yang terdiri atas 5 (lima) kecamatan, yaitu Kecamatan Jebus, Kecamatan Kelapa, Kecamatan Tempilang, Kecamatan Simpangteritip, dan Kecamatan Mentok dengan luas wilayah keseluruhan sekitar 2.820,61 km2. Kabupaten Bangka Barat adalah eks. Kewedanaan Bangka Barat yang beribukota di Kota Mentok.
Satu satunya wilayah kewedanaan di Pulau Bangka yang belum menjadi wilayah administratif kabupaten dan tetap bergabung dalam wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bangka adalah Kewedanaan Bangka Utara yang beribukota di Kota Belinyu. Sangatlah wajar bila saat ini masyarakat di Bangka Utara menyampaikan aspirasi menuntut pembentukan Kabupaten Bangka Utara, yaitu menuntut adanya persamaan sejarah karena kewedanaan lainnya di Keresidenan Bangka Belitung seperti Kewedanaan Bangka Selatan, Bangka Barat dan Bangka Tengah sudah menjadi wilayah administratif pemerintahan kabupaten. Pembentukan Kabupaten Bangka Utara sebetulnya dapat memiliki tujuan ganda karena sekaligus menyelesaikan sengketa batas wilayah antara Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Provinsi Kepulauan Riau di Kepulauan Tujuh yang terletak di Bangka Utara. Keberadaan Kepulauan Tujuh dalam literatur Belanda disebut dengan Zeven Eilanden dengan pulau terbesarnya Poelaoe Kadjangan dan ditulis dalam Aardrijkskunding en Statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie, bewerkt naar de jongste en beste brigten. (Met eene voorrede van P.J. Veth, 1865): Katjangan, een der Zeven Eilanden, be noorden het eiland Banka, Aam de zuid weatkust is eene kom of bogt. Maksudnya ditulis dalam Kamus Geografi dan Statistik Hindia Belanda, disunting dari sumber-sumber terbaru dan terbaik. (dengan kata pengantar oleh P.J. Veth, 1865): Katjangan, salah satu dari Tujuh Pulau, di Utara Pulau Banka. di pesisir Selatan terdapat sebuah teluk atau teluk kecil.
Oleh pedagang-pedagang Tiongkok Kepulauan Tujuh disebut Chi-shu. Keberadaan dan strategisnya Kepulauan Tujuh dapat dipelajari dari perjanjian yang dilakukan antara raja Sunda penguasa Banten bergelar “Samiam” dengan Henrique Lem utusan Gubernur Portugis di Malaka Jorge d’Albuquerque. Perjanjian dilakukan untuk menjaga keamanan rute pasokan dan distribusi Lada dari Banten (monopoli perdagangan Lada oleh Banten) dan sebagai imbalannya, Portugis memberikan bantuan kepada penguasa Banten melawan musuhnya yaitu kerajaan Demak, serta diperbolehkan mendirikan benteng dan diberi jaminan dalam pelayarannya menuju Banten. Benteng kemudian didirikan di wilayah Kalapa dan di daerah ini didirikan batu peringatan Padrao dalam bahasa Portugis. Perjanjian antara Protugis dan kerajaan Sunda dibuat pada Tanggal 21 Agustus 1522 Masehi ditandai dengan batu peringatan (Padrao) dalam bahasa Protugis. Padrao ditemukan di Jalan Cengkeh, Jakarta (dahulu bernama Prinsen Straat), sekarang Padrao tersimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris 18423/26. Rute perjalanan pelayaran perdagangan yang dilindung raja Sunda dan Portugis tersebut meliputi, pertama sekali dari pulau Aur ke Banten, tempat yang dilalui pelayaran ini antara lain Chang-yao shu (pulau Mapor), Lung-ya-tashait (gunung Daik di pulau Lingga), Man-t'ouhsu (pulau Roti?), Chi-shu (pulau Tujuh) dan Peng-chia shan (gunung Bangka gunung Menumbing), sampai di mulut sungai Palembang perahu bisa masuk ke hulu ke Chiii-chiang (surga Palembang). Perjalanan dilanjutkan ke arah Selatan memasuki Selat Bangka melalui selat yang sempit antara Tanjung Tapa dan Tanjung Berarti, San-mai shu (pulau Maspari), Kuala Tu-ma-heng (Wai Tulang Bawang), dan Lin-ma to (Wai Seputih). Dilanjutkan melalui Kao-Ta-lan-pang (Wai Sekampung), Nu-sha la (Ketapang), Shih-tan (pulau Sumur). Dari sini arah diubah ke tenggara dan setelah Tujuh jam kemudian sampai di Shun-t'a (Sunda) (Mills, 1984:127). Pelayaran atau rute perdagangan ini sangat jelas dilakukan dengan menyusuri kawasan di sekitar pantai timur Sumatera, pulau di utara pulau Bangka yaitu pulau Tujuh (Chi-shu) terus ke pulau Bangka dan rute perjalanan terus memasuki selat Bangka untuk kemudian terus menuju Sunda (Shun-t'a). Perjanjian ini hanya berlangsung singkat karena pada Tahun 1527 Masehi, Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa. Tidaklah mengherankan bila kemudian Kesultanan Banten dan Kesultanan Palembang melakukan kontrol terhadap alur perdagangan di kawasan pantai-pantai niaga yang disenangi (the favoured commercial coast) dari Bangkakota di Pulau Bangka (Bersambung).