Guru, HAM dan PGRI
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
KETIKA anaknya bodoh dan bengal, orangtua sering menyalahkan Guru.
Tapi kalau anaknya pintar, orangtua bangga berceloteh sombong:
“Anak siapa dulu dong...?” atau “anak saya memang dasarnya sudah pintar kok”
---------------
GURU bukanlah sekedar profesi, tapi ia lebih tinggi dari sebutan sekedar profesi, karena menjadi guru itu lebih pada tuntutan hati, pengabdian dan nilai-nilai kemuliaan untuk seluruh kehidupan. Sebuah profesi yang tidak semua orang mampu dan ikhlas untuk mendalami dan menekuninya dengan niat bukan sekedar mengajar, tapi juga mendidik, bukan pula sekedar mencari nafkah, tapi juga mencari berkah.
Kita boleh memuji orang hebat yang melahirkan banyak karya bermutu, tapi dari guru bermutu-lah orang-orang hebat itu dilahirkan sehingga mampu berkarya. Setiap kata yang terlontar dari mulut seorang guru adalah pelajaran, setiap gerak dan sikapnya adalah pendidikan bahkan semua perkara yang dilakukan guru adalah sebuah ketegasan. Dipastikan murid yang mampu menghormati guru adalah murid yang juga menghormati kedua orangtua kandungnya.
***
KETIKA Guru memberikan hukuman kepada murid dengan bentuk pendidikan, misalnya menjemur, ngelibes (memukul dengan rotan atau alat pukul yang bentuknya panjang) ke kaki sang murid, mencubit perut, menjewer telinga atau lainnya, ternyata tak sedikit orangtua yang bersikap membabi buta menyalahkan Guru saat mendapat laporan sepihak dari sang anak. Tak sekedar menyalahkan, tapi juga kadangkala melaporkan kepada pihak berwajib dan memvisum bekas “didikan” tegas dari sang guru sebagai barang bukti “kekerasan”.
Semenjak kebebasan demokrasi (kebablasan) terus didengungkan, sedikit-sedikit bicara Hak Azasi Manusia, seringkali profesi yang berhubungan langsung dengan manusia apalagi anak mendapat sorotan tajam dan salah satunya adalah guru. Tak dinyana, dunia pendidikan kita kerapkali tertindas dengan pelanggaran HAM. Sedikit saja kesalahan guru diperbuat, orangtua langsung bertindak melapor ke aparat hukum. Akhirnya tak sedikit para guru menjadi khawatir untuk memberikan didikan tegas kepada murid, mereka memilih cuek, dak ngurus, terserah ikak-lah daripada dilaporkan ke pihak berwajib karena “memukul”, “menjewer”, “menjemur” murid yang bakalan berakibat fatal dalam ranah hukum dan media akan ramai memberitakan.
Siswa tidak bisa dikatakan salah, karena kedewasaan mereka dalam bertindak sesuai usia yang demikian. Tapi disinilah peran orangtua untuk bersikap dewasa terhadap pemasalahan guru dan siswa. Karena antara orangtua dan guru sesungguhnya adalah kerjasama dalam mendidik sang anak. Guru hanyalah membantu orangtua bagaimana mengajar dan mendidik anak, sedangkan orangtua adalah bertanggungjawab secara keseluruhan terhadap anak.
Nah, ketika guru diperlakukan tidak manusiawi, diganggu psikologi oleh siswa bahkan orangtua murid, guru yang kehidupannya merana ekonomi, hidup jauh di pelosok demi murid, jika sedikit kesalahan akan diseret ke meja, apa tindakan organisasi keguruan seperti PGRI? Sudahkah peran PGRI melindungi profesi para guru saat ini? Ini benar-benar pertanyaan akibat ketidaktahuan saya terhadap peran organisasi PGRI selama ini selain kegiatan serimonial dan membayar uang wajib bagi setiap guru.