Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Guru, HAM dan PGRI

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Di sisi lain, kesalahan justru terletak pada sistem pembelajaran yang akhir-akhir ini hanya mengandalkan nilai berupa angka. Sedangkan nilai etika, alam, tata krama, kehidupan, sudah tak dihitung lagi. Oleh karenanya banyak perilaku siswa diluar dugaan akibat sistem pembelajaran yang hanya sekedar menuntut angka (nilai). Ditambah pula dengan setiap pergantian pimpinan nasional berubah pula sistem yang diterapkan dalam pendidikan. Persis seperti yang disindir pepatah lama Melayu: “Sekali air pasang, sekali tepian beranjak, sekali air di dalam, sekali pasir berubah” yang bermakna “setiap terjadi perubahan pimpinan, berubah pula aturannya”. Apalagi misalnya di sebuah daerah yang pemimpinnya kerapkali mengadakan kegiatan serimonial yang “ngerepotin” para Guru. Misalnya wajib “parade telok (telur)” wajib “nganggung” dan sebagainya seperti yang terjadi di sebuah Kota antah berantah yang melibatkan guru dan siswa.

***

UNTUK adik-adik siswa, ketahuilah bahwa hukuman yang diberikan gurumu itu adalah serpihan ilmu dan suatu hari nanti akan menjadi kenangan manis ketika kamu tak lagi menjadi siswa. Saya adalah orang yang sangat bersyukur sewaktu menjadi murid di sekolah digolongkan sebagai murid yang nakal dan terlalu kreatif, sehingga menjadi langganan dijemur, dilibes (dipukul) kaki, dibedirikan di depan kelas, dicubit perut, dijewer telinga hingga memerah dan lain sebagainya oleh Para Guru tercinta. 

Bahkan waktu masih “nyantri” di Pondok Pesantren Modern di Jawa Timur saya mendapatkan hukuman lebih “kejam” lagi. Demi Allah, rambut saya pernah diplontos tak boleh tumbuh selama 5 bulan karena merokok, direndam berjam-jam di kolam lele, disuruh nyabutin rumput, disuruh “thawaf” alias mengelilingi Masjid ratusan kali, membersihkan kamar mandi plus WC, dipukul rotan hingga memar, ditampar wajah kiri kanan hingga pipi terasa tebal dan lain sebagainya. Alhamdulillah sampai saat ini saya mencintai pendidikan itu dan hampir setiap tahun saya diundang untuk mengisi materi di Pesantren tersebut, dan tahun lalu saya mengisi acara “Refleksi Akhir Tahun” untuk para santri.

Hingga saat ini setiap bertemu dengan Guru-Guru tersebut, saya ikhlaskan hidung dan kening ini menyentuh tangan mereka karena berkat didikan itulah kenangan manis itu terjadi dan tak terlupakan. Seringkali saat bertemu atau saya datang ke rumah mereka, kita mengingat masa-masa itu dan cerita bahagia yang diiringi tawa. Lebih bersyukur lagi saya memiliki orangtua yang “dak ngilon” (tidak membela membabi buta) terhadap anak-anaknya. Saya ingat, pernah sekali saya curhat kepada orangtua (Mak) bahwa saya dipukul oleh Guru. Diluar dugaan saya, justru Mak membela Guru dan mengancam saya dengan kalimat: “Syukor, ya lah mun nakal igak. Ape nek ko tambeh agik hukuman e?” (Syukurin, itulah kalau nakal. Apa mau saya tambah lagi hukumannya?). 

Itu pertama (saat Ibtidaiyah/SD) dan terakhir saya curhat “ngelaporin” perihal hukuman Guru kepada orangtua. Selanjutnya saya nikmati dan belajar tidak manja jika menerima hukuman. Apalagi kalau orangtua saya bertemu dengan Guru selalu memberikan “lisensi” kebebasan untuk menghukum saya. Kata-katanya saya ingat betul: “Kalau Ahmadi nakal, pokok e libes (pukul) aja! Kami dak akan ngilon (membela)”. Sekali waktu saya merasa Guru tidak adil dalam menghukum, langkah terakhir adalah adu argument dan “ngamuk” di kelas dengan mengajak sang Guru bersangkutan berkelahi di dalam kelas di hari tersebut. Tapi besoknya kembali akur lagi sambil ketawa-ketawa dengan Guru bersangkutan.

***

PARA orangtua murid, masyarakat dan Pemerintah hendaknya memahami bahwa para guru itu selain bergelut dengan permasalahan murid, sekolah, sistem pendidikan, mereka juga bergelut dalam persoalan ekonomi, keluarga, lingkungan, rumah tangga dan lain sebagainya. Namun guru harus selalu dituntut menjadi teladan dan sebagai pilar bangsa dan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. 

Terus tingkatkan kualitas pribadimu wahai guru..., engkau bukan sekedar kuli pendidikan, tapi engkau adalah lampu penerang peradaban. Walau kadangkala dalam hati seorang guru menangis karena diperlakukan kurang ajar oleh murid-muridnya, ini pengujian kesabaran, namun tetap hadirkan gambara bahwa satu diantara murid-murid bengal dan nakalmu itu akan menarik tangan kita menuju sorga. Amiin ya robbal alamiin....

Selamat Hari Guru, 25 November 2025. 

Salam Guru! (*)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan