Besarnya jumlah personil militer yang dikirimkan Pemerintah Hindia Belanda dari Keresidenan Palembang dan dari Batavia ke pulau Bangka menunjukkan, bahwa perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir sangat besar dan berbahaya bagi eksistensi kekuasaan kolonial Belanda di pulau Bangka. Residen Bangka F van Olden sendiri menyatakan dalam laporannya, bahwa perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Depati Amir menyebabkan penutupan operasi parit-parit penambangan timah dan telah menyebabkan kerugian finansial yang sangat besar. Residen Bangka F. van Olden dalam bukunya De muiterij van Amir menjelaskan betapa sulitnya medan perang di pulau Bangka yang terdiri dari lembah, sungai, bukit, rawa-rawa, padang ilalang dan hutan belantara yang sulit ditembus sehingga menyulitkan upaya penangkapan Depati Amir.
Sulitnya transportasi karena harus menggunakan jalan laut dan sungai dengan menggunakan kapal dan perahu keruis (kruisprauwen), serta masih sedikitnya jalan raya yang dibangun pada masa itu menyebabkan lambatnya mobilisasi pasukan dan peralatan militer Belanda. Mobilisasi pasukan umumnya dilakukan melalui jalan setapak yang dibangun penduduk pribumi orang Darat, dan dilakukan dengan berjalan kaki serta menggunakan tandu serta pikulan untuk mengangkut logistik perang. Orang-orang Darat pribumi Bangka umumnya yang dipekerjakan sebagai tenaga pengangkut logistik perang di samping itu dipekerjakan juga para tahanan atau narapidana. Jauhnya jarak kelompok pemukiman penduduk antar kampung dan dusun disertai dengan mewabahnya penyakit disentri, penyakit beri-beri dan demam serta bersamaan dengan musim hujan yang begitu lebat semakin mempersulit pasukan militer Belanda dalam menghadapi pasukan Depati Amir.***