PERAHU SEKAK (GOBANG) BAGIAN LIMA
Akhmad Elvian-screnshot-
Dato’Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
ORANG Laut Bangka Belitung Orang Sekak dengan Perahu Gobang, mencari atau membajak laut di perairan Kepulauan Bangka Belitung seperti Ikan, hewan Duyung atau Dugong, kerang kerangan seperti Kima dan Gibang, rumput laut atau agar agar, teripang atau gamet, sering juga disebut Timun Laut. Hasil hasil laut tersebut ditukar atau disilor dengan beras, bago dan hasil hasil perladangan Orang Darat, kemudian ditukar dengan pakaian, peralatan kerja di laut, termasuk peralatan dari besi dan senjata. Pada saat kondisi Kepulauan Bangka Belitung tidak aman, misalnya pada masa rakyat Bangka dan Belitung berperang melawan Inggris, Orang laut dengan perahu gobangnya membantu Raden Ali, Raden Keling dan KA. Hatam berperang dengan bergerilya di laut, menyerang pasukan laut Inggris.
Perampokan dan penyerangan terhadap pusat sumber kekayaan Inggris di pulau Bangka dan Belitung oleh pejuang-pejuang laut dalam historiografi Eropa maupun historiografi nerlandosentris selalu ditulis dengan kegiatan perampokan oleh Bajak Laut. Berdasarkan catatan Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka, M.H. Court, bahwa antara bulan Maret 1814 hingga Tahun 1816, produksi Timah yang dihasilkan oleh 78 pekerja tambang Cina di 10 tambang kecil di Kuppo (Kepoh) yang terletak sekitar 6 mil dari sungai ini (sungai Kepoh), sebanyak 75 pikul dari 748 Pikul Timah yang akan dikirim ke gudang di Toobooallie, dirampok oleh Bajak Laut dari Billiton (Belitung) di perairan bagian paling ekstrem Selatan pulau Bangka, dan dilakukan oleh perampok yang datang dari seputaran Toobooallie (Court, 1821:193,194).
Terkait pengamanan kedaulatannya di perairan laut Bangka Belitung, Pemerintah Inggris kemudian dengan angkatan lautnya yang kuat, “memaksa” seluruh kapal diharuskan meminta izin kepada angkatan laut Kerajaan Inggris bila ingin bersandar di pelabuhan yang ada di pulau Bangka, kecuali di pelabuhan Mentok, dimana penguasa dapat mengawasi mereka. Meskipun begitu, perahu kecil dari Riau, diawaki orang Tionghoa, sering menyelundupkan biji Timah dari pantai Timur Bangka untuk dilebur di Lingga (Heidhues, 2008:30). Pemerintah Inggris melalui seorang penelitinya Horsfield dengan bangga menyatakan “alangkah bahagianya penduduk karena bisa tidur tenang tanpa takut terjadinya serangan perompak”, dan residen Inggris untuk Palembang dan Bangka M.H. Court hanya menyebutkan Satu atau Dua “peristiwa kecil” yang mengganggu seluruh priode pendudukan Inggris atas pulau Bangka dan pulau Belitung.
Pada masa kembali berkuasanya Pemerintah Hindia Belanda di pulau Bangka, bulan Mei 1819, kepala-kepala rakyat di Toboali beserta dengan “Lanun” menyerbu parit-parit Timah di sekitar daerah sungai Kepoh dan kemudian merebut kembali Toboali dari tangan Belanda. Batin Pa Amien adalah salah satu pemimpin atau yang disebut dalam laporan Belanda dengan kepala-kepala rakyat di Toboali yang melakukan perlawanan rakyat setelah pemerintahan Belanda menetapkan Tin Reglement Tahun 1819. Akibat serangan kepala-kepala rakyat di Toboali dan Lanun, Letnan Biery dengan pasukannya lari tunggang langgang ke Pangkalpinang. Demikian pula kedudukan tentara Belanda di Jebus diserbu oleh kepala-kepala rakyat dan Lanun berkali-kali dan sebuah kapal perang Belanda dapat dirampas (Bakar, 1969:15). Berdasarkan catatan Santosa, pada bulan Mei 1819, gerombolan Bajak laut menyerbu pos militer di pesisir pantai dekat Kota Toboali yang dipertahankan 40 prajurit di bawah Letnan Biery. Serangan bajak laut juga terjadi atas sejumlah pos militer di pesisir Barat Laut Bangka. Kota Toboali dikosongkan karena militer Hindia Belanda tidak dapat menahan serbuan gerombolan bajak laut (Santosa, 2011:133,135).
Karena hebatnya perlawanan rakyat Bangka, pemerintah Hindia Belanda harus mendatangkan kesatuan kaveleri dari Legiun Raja Akil (Mayor Akil) dari Siak serta Kolonel Pangeran Ario Praboe Prang Wedono dari Legiun Mangkunegaran Jawa Tengah yang mengirimkan Tiga puteranya ke Bangka yaitu Ritmeester (Kapten Kaveleri) Pangeran Ario Soerio Mataram, Letnan Satu Raden Ario Soerio Direjo dan Letnan Dua Raden Ario Soerio Midjojo, beserta dengan 70 ekor kuda serta kesatuan infanteri di bawah pimpinan Kapten Du Perron. Legiun ini dibentuk secara resmi oleh Gubernur Jenderal Daendels dengan keputusan Tanggal 29 Juli 1808 sebagai pasukan gabungan Perancis, Belanda dan Jawa. Legiun ini membawahi pasukan sebanyak 800 serdadu infanteri, 100 prajurit pelopor, 200 kaveleri berkuda dan 50 orang prajurit artileri. Penugasan Legiun ini ke pulau Bangka merupakan “pengalaman pertama” bertempur di luar pulau Jawa. Legiun ini pula yang pada Tahun 1825-1830 berperang melawan pasukan Diponegoro dan pada Tahun 1873 berperang di Aceh. Pengalaman perang Legiun kaveleri Mangkunegaran di Bangka merupakan pengalaman perang pertama dalam perang gerilya yang kemudian mereka hadapi juga dalam perang gerilya di Jawa. Berkat pengalaman perang di Bangka kesatuan infanteri yang dipimpin oleh Du Perron dengan strategi yang rapi dan jitu dapat menangkap Pangeran Diponegoro dalam satu perundingan yang gagal pada Tanggal 28 Maret 1830.
Letnan Kolonel Aukes dalam bukunya Het Legioen Van Mangkoe Nagara mencatat, bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Van der Capellen pada Tanggal 28 Maret 1820 Masehi mengeluarkan besluit Nomor 10 yang memerintahkan pengiriman Detasemen Kaveleri Legiun Mangkunegaran ke pulau Bangka. Dalam laporan Tanggal 10 Mei 1820, Mayor Jenderal De Kock menjelaskan disiapkan kapal Minerva untuk mengangkut kontingen Legiun Mangkunegaran dari Semarang-Bangka. De Kock memberikan rincian personalia kontingen Legiun Mangkunegaran yang dikirim yakni seorang Letnan Dua bangsa Eropa dari Batalyon Infanteri ke-22 sebagai penanggung jawab administrasi, seorang Ritmeester (Kapten Kavaleri), seorang Letnan Satu dan seorang Letnan Dua, seorang Kapten Ajudan, 63 bintara dan tamtama. Mereka dibekali 54 buah pedang kavaleri, 62 pucuk pistol, dan 310 kotak amunisi, 62 setel jaket militer dan celana. Sedangkan kontingen infanteri dari Batalyon ke-21 terdiri atas seorang Kapten, seorang Letnan Satu dan Tiga Letnan Dua, seorang Sersan Mayor, Empat Sersan Eropa, Delapan Kopral Eropa, seorang Letnan Dua Bumiputera, 131 bintara dan tamtama Bumiputera. Keseluruhan ada 151 personel infanteri (Santosa, 2011:136-137). Dalam catatan tersebut dikatakan bahwa Legiun Mangkunegaran Jawa Tengah dikirim ke pulau Bangka untuk mengamankan perairan pulau Bangka dari keganasan Bajak Laut. Sebenarnya yang dimaksudkan dengan Bajak Laut di sini adalah karena dalam peperangan Depati Bahrin selalu berpindah-pindah dengan taktik gerilya dari Bangkakota, Kotawaringin, Jeruk dan Menareh/Mendara, dan Depati Bahrin sering berkumpul di daerah yang dikuasai oleh Bajak Laut. Jadi yang dimaksudkan dalam catatan dan laporan Belanda, bahwa pengiriman pasukan dalam rangka menumpas Bajak Laut sesungguhnya adalah untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Bahrin beserta pengikut-pengikut setianya. Menurut laporan A. Meis, Depati Bahrin lebih senang tinggal di Mendara/Menareh dan tempat berkumpul bajak laut (Arsip Nasional (ARNAS-RI) Arsip Daerah Palembang, no.67
Serangan Bajak Laut terhadap beberapa kawasan di wilayah pulau Bangka terus berlanjut, menjelang pertengahan bulan Maret 1847, perahu perompak pertama muncul di Selatan pulau Belitung. Mereka itu dikejar oleh perahu-perahu Depati. Pada Tanggal 21 Maret terjadi peristiwa yang luar biasa, karena para perompak dengan 22 perahu yang diawaki oleh 300 orang mendarat di pulau Lepar dan menyerang benteng Penutuk. Penguasa setempat yang bernama Mas Agus Mohamad Asik yang dikenal sebagai pejabat yang setia kepada pemerintah Belanda, dengan sangat berani menangkis Tiga kali serangan perompak, sehingga memaksa mereka untuk mundur dengan kerugian Sembilan orang perompak meninggal. Kepala para perompak itu dipenggal, kemudian dikirimkan ke Toboali. Sementara itu, penduduk Lepar, sebaliknya tidak seorangpun yang terbunuh atau tertangkap. Saat menerima berita ini, 25 orang serdadu garnisun di Mentok dikirim ke Pangkal Pinang dan Koba sebagai bantuan, dengan tujuan untuk memberikan pertolongan dari sana jika diperlukan sebagai titik strategis. Setelah serangan yang begitu buruk dampaknya bagi mereka terhadap Lepar, para perompak tampaknya terbagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil.
Pada Tanggal 14 Maret 1847, Empat warga Olim (Toboali) yang sedang dalam perjalanan ke ibukota Toboali, diserang oleh sebuah sampan yang mengangkut beberapa orang awak kapal. Akan tetapi mereka berhasil lolos dengan meninggalkan perahu dan muatannya. Pada Tanggal 23 Maret, Sembilan perahu perompak besar berkumpul di teluk Dusun (Toboali) di dekat ibukota, sementara di Dua kampung besar masing-masing telah disiapkan 25 orang perompak. Namun akhirnya mereka segera kembali ke perahu mereka ketika melihat kampung yang lebih besar sudah dilengkapi dengan benteng. Usaha administrator untuk mencegah para perompak dengan penduduk kampung bersenjata dan beberapa anggota militer ternyata sia-sia, mereka tidak berhasil memotong laju perompak di laut dengan perahu-perahu besar yang mereka miliki.
Para perompak seakan-akan tidak pernah mengenal menyerah. Beberapa hari sebelumnya para perompak menangkap Tiga orang nelayan Cina di dekat pulau Dapur. Pada Tanggal 24 Maret 1847, Sembilan perahu perompak besar mendaratkan Dua orang itu di kampung Katiak (Koba), sementara orang kedua yang terluka parah dalam perkelahian dengan penduduk meninggal dunia. Keesokan harinya Dua perompak terbunuh dalam suatu serangan terhadap Ranghauw, yang termasuk distrik Koba. Sebanyak Sembilan perahu besar dan Empat perahu kecil menyerang di sungai Ballar (Sungaiselan) merampas Dua kapal dagang pribumi. Namun beberapa orang pelaut pribumi berhasil lolos dan kembali ke sungai Ballar. Untuk mengatasi keganasan perompak laut, pemerintah Belanda mengerahkan kapal uap Merapi, Windhoand, Aruba dan Bromo. Sementara itu Depati Amir putra Depati Bahrin yang berkuasa di Djeroek bersama dengan 30 orang pengikutnya, berhasil menumpas para perompak yang mengganas di perairan pulau Bangka dan memulihkan keamanan serta ketentraman rakyat (Elvian 2012;82).(Habis).