PERAHU SEKAK (GOBANG)
Akhmad Elvian-screnshot-
Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
DALAM beberapa foto lama koleksi Museum Kerajaan Belanda atau Tropenmuseum Amsterdam, circa 1900, dengan keterangan: Sekah Prauwen aan de Kwalla Soengeiliat....
-----------------
KIRA-KiRA maksudnya: Perahu Orang Sekak di Kuala Soengeiliat.
Sebutan Kuala berbeda dengan Muara karena Kuala adalah wilayah geografi pertemuan antara beberapa sungai dan anak sungai atau aik dengan lautan, sedangkan muara biasanya hanya merupakan pertemuan satu sungai atau anak sungai (aik) dengan laut. Dalam gambar koleksi museum kerajaan Belanda tampak beberapa perahu Sekak atau Gobang beratap anyaman daun (pandan laut bahkan sering juga menggunakan daun nipah) lengkap dengan layarnya yang sedang tergulung, juga terbuat dari anyaman daun. Bentuk atap rumah perahu berbentuk pelana atau gudang sama seperti atap rumah tradisional orang Darat Bangka. Tampaknya kelompok atau Batin Sekak dari perairan Pantai Timur Bangka atau sering disebut dengan Kelompok Semujur sedang melepa perau mereka di daratan Kuala Soengeiliat. Kelompok Semujur adalah Kelompok atau gerombolan Batin Sekak yang mendiami perairan di sekitar pulau pulau kecil; pulau Semujur, pulau Ketawai. Pulau Panjang, Gusung Asam dan pulau kecil lainnya yang berada di Pesisir Timur pulau Bangka. Disebut Kelompok atau Batin Semujur karena situs upacara adat mereka seperti Muang Pathung yang oleh Orang Cin Bangka disebut Muang Jung (perahu) dan prosesi adat memakamkan orang yang meninggal yaitu Kundhang Nambek, hanya dilakukan di daratan pulau Semujur. Orang Sekak atau sering ditulis Sekah atau Sekakh, adalah Bangkanese atau Bumiputera Bangka yang menguasai bahari dan pelayaran di sekitar perairan Pulau Bangka dan Belitung pada masa masa lampau.
Dalam sistem kelautan Indonesia, kawasan Kepulauan Bangka Belitung merupakan bagian dari kesatuan wilayah perairan yang meliputi Laut Natuna, Selat Malaka, selat Bangka, Selat Karimata (Zee van Borneo), khususnya yang dibatasi oleh pantai Timur Sumatera dan pantai Kalimantan Barat, jadi yang mencakup alur-alur pelayaran di sela-sela laut Kepulauan Riau dan Lingga serta laut di Kepulauan Bangka Belitung. Sesungguhnya wilayah perairan Kepulauan Bangka Belitung merupakan negeri diantara angin. Perairan ini berperan sebagai penghubung antara “negeri di atas angin” (yakni sub negeri benua India di sebelah Barat Laut, Persia dan negeri Arab), pulau Jawa dan pulau-pulau Nusantara lainnya di sebelah Timur (“negeri di bawah angin”), dan Muangthai, Vietnam, serta Asia Timur di sebelah Utara. Oleh sebab itu sejak dahulu kala penguasaan perairan tersebut merupakan tujuan utama dari setiap kekuatan politik yang muncul di sini dari masa ke masa (Lapian, 1992:144). Dan, tidaklah mengherankan jika pantai ini dianggap sebagai “Pantai Niaga yang disenangi” (the favoured commercial coast) di kawasan Barat Indonesia, sebagaimana yang telah diuraikan secara panjang lebar oleh O.W. Wolters dalam karyanya tentang masa sebelum Sriwijaya. Kawasan ini menjadi disenangi karena letaknya yang strategis dan Kepulauan Bangka dan Belitung sangat kaya akan Timah dan penghasil Lada Putih yang sangat laku di pasaran dunia.
Kondisi letak geografis dan teritorial Kepulauan Bangka dan Belitung yang terdiri dari banyak pulau dan dikelilingi oleh selat dan laut yang strategis dalam alur pelayaran, menyebabkan masyarakat yang mendiami kepulauan Bangka Belitung membangun kebudayaannya atas basis bahari atau laut (sea base culture) dengan orang Laut atau orang Sekak sebagai pendukung utama peradabannya dan juga membangun kebudayaannya berbasis pada daratan (land base culture) dengan orang Darat atau orang Bukit sebagai pendukung utama peradabannya. Orang Kepulauan Bangka Belitung mengenal kata “zaman barik” yang berasal dari kata zaman bahari, menunjukkan, bahwa masyarakat Kepuluan Bangka Belitung zaman dahulu kala sangat memperhatikan bahari atau lautan. Untuk mengeksploitasi hasil lautan dikenal istilah “membajak laut”. Istilah Bajak Laut adalah kelanjutan dari kata membajak laut. Ketika basis kebudayaan masyarakat beralih ke daratan istilah membajak juga digunakan untuk mengeksploitasi tanah (membajak sawah atau ladang). Untuk mengeksploitasi laut, Orang Laut pribumi Bangka, orang Sekak menyebut perahu sekaligus tempat tinggalnya dengan “perau lipat kajang”, dan sering juga disebut dengan “Lepa” atau ada juga yang menyebutnya dengan“gobang”. Bahkan ada satu pulau yang diberi nama “Lepar” berasal dari kata “Lepa” yang berarti Perau atau Perahu lipat kajang dan pulau Lepar sendiri merupakan satu situs tempat gerombolan atau kelompok orang laut pribumi Bangka Belitung orang Sekak.
Kehidupan orang Sekak atau orang Laut pribumi Bangka, berkelompok atau bergerombol di atas perahu antara 4 sampai 10 perahu dipimpin oleh seorang Batin Sekak. Kehidupannya berpindah-pindah dari pulau-pulau kecil ke selat, teluk, tanjung, muara sungai dan beting serta gossong, menyebabkan mereka sangat memahami dan menguasai dengan baik alur pelayaran dan cuaca yang ada di sekitar pesisir pulau Bangka dan pulau Belitung serta pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sedikitnya terdapat lima kawasan geografis orang Laut pribumi Bangka yaitu di Kepulauan Lepar, kawasan pulau Semujur, kawasan Teluk Kelabat, kawasan Tanjungpandan dan kawasan Belantu. Pengetahuan orang Laut dalam memahami kondisi dan keadaan lingkungan laut di Kepulauan Bangka Belitung diperoleh berdasarkan pengetahuan dan kearifan lokal sebagai pengembara laut (sea dweller) berabad-abad silam. Merekalah yang menguasai perairan Kepulauan Bangka Belitung termasuk memberikan nama nama pulau dan selat-selat di kawasan Kepulauan Bangka Belitung seperti selat Lepar, selat Gelasa (Gaspar straits), yang terdiri dari selat Lepar, Selat Lepila (Macclesfield Strait), selat Baur (Stolze Strait) selat Limindo (Clements strait).
Kehebatan orang laut Kepulauan Bangka Belitung sangat diakui. Dalam catatan residen Inggris untuk Palembang dan Bangka M.H. Court, dikatakan bahwa inspeksi terakhirnya di pulau Bangka dimulainya dari sungai Marawang ke Selatan, di sepanjang pantai Timur, dan dari situ putaran ekstrim ke arah Selatan Bangka sampai ke Toobooallie (Toboali) yang merupakan pos paling Selatan, dibantu oleh orang Laut pribumi Bangka Belitung yang disebutnya orang Lepur (Lepar). Pemetaan mengalami hambatan walaupun M.H. Court saat itu menggunakan kapal perang Inggris yang cukup canggih, karena memasuki musim angin Tenggara yang sangat kencang, sehingga tidak bisa memproyeksikan dari titik Tanjong Brekat (Tanjung Berikat) ke arah Timurnya. Selama Dua hari tanpa ada kemajuan dan atas bantuan Kepala orang Laot (Batin) yang dipekerjakan, kemudian baru sampai di Kuppo (Kepoh) dan dari Tanjong Brekat ke tempat ini seluruh pantai sangat berbatu. Dari muara sungai Kuppo di siang hari keesokan harinya, terlihat sebuah pulau yang disebut Pooloo Booroong (pulau Burung), hampir ke Timur, pada jarak Duabelas mil. Kemudian ada pulau lain, yang disebut Pooloo Tingee (pulau Tinggi), yang merupakan sebuah bukit yang tinggi dengan puncak kerucut tajam, hampir ke Selatan. Perjalanan dari Kuppo ke Toobooallie tidak aman bagi kapal-kapal apapun. Jalur pelayaran sangat rumit dan berbatu, disebut Salat Lepur (selat Lepar), antara pantai Bangka dan beberapa pulau kecil, pulau yang terbesar disebut Pooloo Lepur (pulau Lepar). Orang Laot, yang mendiami pesisir dan pulau-pulau di sekitar sini, disebut orang Lepur. Mereka hidup berpindah, dan saya berharap mereka menjadi patuh dengan memberikan pekerjaan kepada mereka dalam pelayanan kepada pemerintah. Dari Kuppo di pantai Timur, menuju Toobooallie di pantai Barat, dengan jarak Lima jam perjalanan, atau Duabelas mil setengah (Court, 1821:192-194).
Orang Laut yang oleh residen Court disebut sebagai orang Lepar, kemudian dipekerjakan oleh pemerintah Inggris untuk memandu perahu-perahu angkut dengan perahu Sekak dan mereka dibayar setengah dolar per pikul Timah untuk pemanduan dan pengangkutan Timah dari pusat-pusat tambang di darat. Pengangkutan dan pemanduan perahu-perahu bermuatan Timah oleh perahu Sekak, bertujuan untuk menghindari alur pelayaran yang berbahaya dan menghindari serangan bajak laut sebelum Timah diangkut menuju ke kapal-kapal besar milik Inggris.
Pada Tahun 1848-1851, Perau Sekak atau Perahu Gobang juga digunakan oleh orang Laut pribumi Bangka orang Sekak, untuk membantu Depati Amir dalam pertempuran di laut. Perau Sekak yang sederhana beratap kajang dari anyaman daun Nipah, dijadikan sebagai perahu perang dan perahu angkut. Perang yang berkecamuk meluas sampai ke perairan pantai Utara Jawa. Dalam Pertimbangan dan Saran dari Wakil Komandan Admiral Angkatan Laut Hindia Belanda dan Inspektur Marine kepada Gubernur Jenderal di Batavia, tertanggal, Batavia 12 September 1850, Nomor 658/A, (ANRI: BT 17/9/1850 Nomor 1), menanggapi Surat Residen Bangka, Tanggal 3 September 1850 Nomor 4537: ”Ternyata kabar dari penguasa pulau Lepar dan Depati Biliton, bahwa bajak laut (perompak) yang terlihat berulangkali di pantai Jawa adalah orang Laut dari Lepar (pulau Lepar) dan Biliton (pulau Belitung), rupanya betul halnya sama dilaporkan Gezag Hebber (penguasa) Horneveld pada waktu itu ketika berada/bertugas di Borneo Selatan di Kotawaringin, nama penguasa perompak itu Mah/Mak/Ma Sarinah dan Mah/Mak/Ma Cirbu, hal yang sama dilaporkan komandan perahu yang kapalnya dirampok, pada akhir-akhir ini pantai Jawa menjadi berbahaya dan tidak aman.(Bersambung)