Generasi (Pendidikan) Cengeng

Ahmadi Sopyan-screnshoot-

Oleh : AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

 

“JANGAN jadi orangtua cengeng, anak di pukul sedikit oleh guru, langsung lapor sana-sini. Saya bersyukur dan berterima kasih karena semasa sekolah tergolong murid yang sering dididik dengan pukulan oleh guru bahkan hingga membekas. Parahnya, kalau orangtua tahu, hukumannya malah ditambah”

KALI ini sedikit saya ingin membahas mengenai dunia pendidikan saja. Maklum, walau bertitel sarjana pendidikan, saya sangat jarang berbicara apalagi menulis tentang dunia ppendidikan. Saya melihat saat ini, dunia pendidikan kita lebih cenderung mengajar belum tentu mendidik, mengejar target untuk nama sebuah sekolah ketimbang perilaku anak-anak setelah tamaat dari sekolah. Pendidikan kita cenderung berpikir nilai bukan karakter yang dididik, bangga pada prestasi sesaat bukan pada akhlak. Kita terlalu bangga ketika murid pintar matematika dan mengenyampingkan yang pintar membawa diri dalam kehidupan ditengah masyarakat.

 Oleh karenanya, bukan berita baru lagi kalau sering terjadi tawuran pelajar, hubungan bebas pelajar dari mulai setingkat SMP hingga SMA, perilaku tak senonoh sudah tak malu-malu lagi ditampakkan, pelajar perempuan keluar malam hingga dini hari dengan busana yang tak pantas, guru diejek tanpa ada rasa hormat. Lantas jika guru sudah “gerigit ati”, lalu menggunakan tangan (memukul), sang anak langsung melapor kepada kedua orangtuanya. Cengengnya, orangtua zaman now (sekarang) tak lebih heboh dengan budak zaman now (sekarang), yakni langsung melabrak atau melaporkan sang guru untuk diperkarakan secara hukum.

Terus terang, hati saya sedih, jika ada berita terjadi perseteruan antara orangtua dan guru karena persoalan pukulan kepada murid. Karena saya sangat menghormati profesi guru.  Semasa sekolah saya tergolong murid nakal, sehingga sering mendapat hukuman dibedirikan didepan kelas, di luar kelas, di halaman sekolah, bahkan ketika di Pesantren saya dihukum kepala gundul setiap bulan, direndam dalam kolam ikan, disuruh nyabutin rumput di sekitar Masjid, dibedirikan dan dipertontonkan kepada seluruh santri yang jumlahnya tak terhitung jari. Belum selesai, terlalu sering kaki dan paha mendapat pukulan hingga bekasnya membiru, kesentuh dikit bisa menjerit. Apakah saya melawan? Tidak sama sekali. Apakah orangtua saya tahu? Kadang tahu kadang tidak. 

Justru saya sangat khawatir kalau orangtua saya tahu, karena bukannya dibela, malah hukuman bisa ditambah. Karena prinsip orangtua saya, kalau di sekolah, maka orangtuanya adalah guru dan kalau di rumah dan diluar sekolah, maka merekalah yang menjadi orangtua. Antara orangtua dan guru adalah satu dan sama-sama mendidik dan mengajari sang anak. Dengan prinsip itu, orangtua saya (Mak) kalau bertemu guru saya, maka dengan entengnya dia berkata: “Kalau Ahmadi nakal, ikak libes bae, kami dak akan ngilon” (Kalau Ahmadi nakal, kalian pukul saja, kami tidak akan membela). Nah, makin enteng guru menghukum saya karena sudah dapat “lisensi”. Selanjutnya saya nikmati dan belajar tidak cengeng jika menerima hukuman. 

Hingga saat ini setiap bertemu dengan Guru-Guru tersebut, saya ikhlaskan hidung ini menyentuh tangan mereka karena berkat didikan itulah kenangan manis itu terjadi dan tak terlupakan. Seringkali saat bertemu atau datang ke rumah mereka atau sebaliknya mereka silaturrahim ke rumah saya, kita mengingat masa-masa itu dan cerita bahagia yang diiringi tawa. Lebih bersyukur lagi saya memiliki orangtua yang “dak ngilon” (tidak membela membabi buta) terhadap anak-anaknya. Sehingga anak-anak-nya pun tidak menjadi generasi berkpribadian cengeng.

***

GURU adalah profesi yang paling mulia dan patut dibanggakan di antara berbagai profesi yang ada. Profesi Guru adalah profesi panggilan hati, karena Guru tidak hanya bekerja dengan kemampuan intelektualitasnya, tapi juga harus menyerahkan sepenuh hatinya guna mendidik ratusan murid yang tiada lain adalah generasi penerus agama dan bangsa ini. Tapi namanya hidup, apalagi di Indonesia, profesi Guru tak menguntungkan untuk memperoleh pujian. Kalau murid bodoh orangtua menyalahkan Guru: “Dasar Guru nggak bisa ngajar! Cuma makan gaji buta”. Tapi kalau murid pintar, orangtua bergumam: “Siapa dulu orangtunya, dong?” atau dengan gaya “taipau madun” atau “taipau begereng”: “Wajarlah, soalnya kami ini memang keturunan orang pintar…..”

Ditambah lagi di era demokrasi kebablasan yang sedikit-sedikit “penegakkan hukum” atau HAM (Hak Azasi Manusia). Semua profesi yang berurusan dengan manusia harus ekstra hati-hati, terutama para Guru. Tak jarang sang Guru dilecehkan murid bahkan hingga meringkuk dibalik jeruji besi akibat dianggap pelanggaran hukum karena menghukum murid. Kalau murid nakal orangtua kerapkali menyalahkan Guru dan lingkungan sekolah. Bahkan tanpa kompromi, orangtua memindahkan anaknya ke sekolah yang lain sambil mengumpat menyalahkan Guru dan lingkungan di sekolah yang lama. Tak jarang Guru harus berkeringat dingin menahan emosi ketika orangtua datang ke sekolah untuk mendamprat Guru.

Ketika Guru memberikan hukuman kepada murid dengan bentuk pendidikan, misalnya menjemur, memukul (ngelibes) kaki sang murid, mencubit perut, atau lainnya. Orangtua kerapkali membabi buta menyalahkan Guru ketika mendapat laporan sepihak dari sang anak. Tak sekedar menyalahkan, tapi juga kadangkala melaporkan kepada pihak berwajib. Kadangkala, dinas Pendidikan dan PGRI entah kemana ketika guru harus menahan derita sendiri. Tak jarang karena tuntutan opini publik, mereka justru menyalahkan sang guru.

Oleh karenanya, guru dan orangtua hendaknya tidak berseteru tapi justru bersinergi mendidik dan mengajar anak-anak kita, mereka adalah generasi masa depan yang tidak boleh diberikan pendidikan cengeng, pendidikan perseteruan antara orangtua dan guru. Libatkan anak-anak kita dalam kegiatan sosial, organisasi ekstrakulikuler seperti pramuka agar mereka tidak menjadi generasi cengeng, manja yang akhirnya menjadi “cucu Mak Erot” yakni hobi memperbesar “sesuatu” yang kecil. 

Tag
Share