Di Bawah Bianglala
Syabaharza-screenshot-
***
Waktu menunjukkan pukul 02.30 dinihari. Suasana sunyi menguasai bumi. Waktu seperti itu memang saatnya istirahat. Sudah bisa dipastikan semua manusia sudah terbaring di peraduannya masing-masing. Selimut tebal pasti sudah mereka pegang bahkan mungkin sebagian dari mereka sudah dibuai oleh mimpi indah.
Tapi fenomena itu tidak terjadi di sudut bianglala raksasa, karena di sana masih berkumpul penduduk asli daerah itu. Mereka sengaja berkumpul di masa itu karena di masa itulah mereka bisa membahas segala persoalan dengan khusuk.
Mereka sudah membentuk sebuah lingkaran. Tidak ada kopi atau teh, apalagi kue yang enak menemani mereka. Semua tidak menghiraukan dinginnya angin malam itu. Tampaknya semua sudah kebal dengan desiran kabut dan hembusan sang bayu.
Hanya saja terlihat tikus curut memakai kain kotor menutupi tubuhnya. Kain itu dililitkan ke tubuhnya. Ternyata tikus curut mengalami demam akibat infeksi luka di kaki kirinya. Namun tikus curut tetap hadir demi menghargai sahabat-sahabatnya.
Anggota rapat mereka kali ini bertambah. Selain anjing hitam, tikus curut, siput tua yang rumahnya retak dan kucing orange yang manis, hadir juga saat itu cacing tanah dan kuman. Kehadiran dua teman mereka itu menambah seru sidang mereka.
“Kita to the point saja,” anjing hitam membuka pembicaraan, kali ini ia tidak menjilat ketiaknya tapi mengibaskan ekor pendeknya.
“Siapa yang tidak setuju dengan pembangunan wahana ini, beri isyarat dengan anggota tubuhnya masing-masing.