Pak Galak semakin emosi. Hukuman membersihkan toilet harusnya membuat Ifan menangis, bukan tersenyum. Padahal apapun yang keluar dari mulut Pak Galak seperti jarum.
BACA JUGA:CERPEN DENIS FEBI YOLANDA: Dun dan Ceritanya Tentang Tawa
Pak Galak kalap. Kaki dan tangannya menegang karena tak lagi mampu menahan emosi yang sudah di ujung sumsum.
Segayung air disiramkan ke muka Ifan. Bahagia yang sedari tadi ada di muka mendadak seperti tertembak senapan, menggelepar, kejang, dan sesaat sudah berada di ujung jurang.
Mukanya yang berseri berubah memerah seperti warna bawang. Bahagia itu sudah mati dan beterbangan.
Tangan mungil Ifan meraih batang kayu terserak di halaman. Ia tak tahan dengan kelakuan Pak Galak yang mirip preman. Beliau sudah menjelma menjadi musuh yang tak lagi mengenal rasa harum, tapi bak jadi perusak taman.
Di sela tangis karena hati yang teriris, air mata mulai menghapus bahagia bagai daratan terkikis. Ingin dipukulkannya batang kayu kecil itu ke tubuh besar Pak Galak, tapi sayang, tangannya itu terlalu mungil. Tak lagi terbesit bahagia selepas ia juara bulu tangkis. Yang tersisa hanya tangis. Hati Ifan juara bulu tangkis kini teriris.
Pagi Ifan yang tadi indah kini tak lagi cerah. Kupu yang beterbangan dan hinggap di taman sekolah itu tak seceria tadi. Kawanan kupu yang sedari tadi menari, sekarang ikut menangis. Piala yang tadi membawa bahagia kini seolah jadi pembawa tangis. Dengan hati teriris, ia ke kelas dengan langkah gontai bak berjalan di bawah hujan dan gerimis.
BACA JUGA:CERPEN RUSMIN SOPIAN: Lelaki di Balik Kesedihan Rimba
Jika ada tempat lebih baik, maka Ifan dan teman sekelasnya akan pergi ke sana. Kuburan dan jurang di tepian kampung itu kala hari terasa lebih indah meski fana. Mengapa ia dan teman sekelasnya yang harus tertimpa kobaran api di kelasnya. Mengapa anak sekecil Ifan disuguhi api membara? Kelas yang dihuni tiap hari bagai neraka.