CERPEN RUSMIN SOPIAN: Lelaki di Balik Kesedihan Rimba
ilustrasi-koranbabelpos.id-
Sore itu, sekelompok camar menari-nari di atas langit. Tariannya eksotis. Sarat kegembiraan. Tanda senja mulai menyapa bumi.
Matahari pun mulai menenggelamkan diri. Seiring terbangunnya rembulan dari mimpi panjangnya. Lelaki setengah baya itu masih belum ingin beranjak dari duduknya.
Mata liarnya seolah belum puas memandang areal yang dipenuhi puing-puing reruntuhan.
Matanya seolah belum puas menyaksikan apa yang dilihatnya. Sebuah areal yang sangat luas terbentang. Sangat luas. Matanya seolah tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Sangat tak percaya sama sekali.
Matanya seakan tak percaya apa yang dilihatnya. Sebuah bentangan tanah yang sangat luas.
Di bentangan tanah yang luas itu matanya hanya melihat sebuah bangunan yang tersisa. Sebuah masjid yang tak pernah menerima uluran tangannya. Tak ada bangunan lain.
Mata lelaki itu seolah-olah belum puas dengan apa yang dilihatnya. Belum puas, ketika sebuah tepukan di pundaknya menyadarkan dirinya.
BACA JUGA:CERPEN MARHAEN WIJAYANTO: Sambal Terasi
"Azan Magrib sudah berkumandang. Ayo ke masjid," sapa seorang lelaki tua bernada ajakan.
Lelaki setengah baya yang biasa dipanggil Pak Bos oleh warga kampung mengikuti langkah Pak Tua itu yang menuntunnya menuju masjid.
Malam itu langit penuh bintang. Cahaya rembulan menerangi alam raya. Jagad raya bertaburan bintang dan siraman cahaya yang terang benderang.
Pak Bos memandang langit dari halaman barak yang dihuninya kini. Berbaur bersama warga Kampung dalam kedukaan.
Tak terdengar lagi lagu "Huma Di atas Bukit" dari band cadas God Bless yang biasa dinikmatinya di halaman belakang rumahnya yang sangat luas sembari menikmati kopi dan kue bersama rekan-rekan bisnisnya. Tak ada lagi.