CERPEN MARHAEN WIJAYANTO: Sambal Terasi

ilutrasi-babelpos-

Anak kecilku asyik dengan mainan mobil miliknya.  Ia membayangkan mobil mainan yang ada di tangannya mampu mengantarkannya pergi ke Jogja untuk jalan-jalan ke rumah Pakde yang sudah tiga tahun tidak dikunjungi. 

 

Biasanya setiap tahun kami pergi dengan gampangnya, namun semenjak harga timah anjlok, pergi ke Jogja hanya semacam isapan jempol dari janji-janji saya saja.

 

Si kecilku menimang boneka yang ada di tangan. Dirasa kurang manis, maka ia  mengutak-atik wajah mainannya itu dengan make up ibunya. Jika biasanya mampu membelikan make up kelas atas, namun apa daya, di musim timah yang sepi ini, saya hanya mampu membelikan bedak bayi dan perias alakadarnya. Sehingga boneka anak saya itu teroles oleh  make up murahan, sama halnya dengan istri saya. 

BACA JUGA:CERPEN RUSMIN SOPIAN: Lelaki yang Diludahi Narasi Sesat

Pesawat mainan hadiah dari makanan ringan warung Mang Lapan, terasa bukan miniatur air bush yang dikendalikan dengan remote. Pesawat mainan itu sekarang hanya berbahan plastik yang penyok tiap terbentur benda tumpul. 

 

Musim timah yang sepi membuat anak-anak tak mampu bermain pesawat remote. Seperti para penambang yang sudah tak berdaya karena tak mampu lagi mudik lewat udara. Mereka sekarang naik kapal laut. Bahkan, jika bisa, para penambang itu berenang untuk mudik. 

 

Mainan pesawat yang dibeli sangat merana. Mereka bukanlah pesawat remote kontrol bergengsi, hanya cadangan karena mau tak mau anak-anak harus dibelikan sebagai obat tangis. Sama halnya dengan pertalite dari warung Mang Lapan yang tak lagi mampu dibeli oleh pengerit. 

BACA JUGA:CERPEN: Tak Ada Lagi Lahan Kosong untuk Kuburanku Nanti

Satu jeriken yang dahulu akan habis   dalam hitungan menit, sekarang sudah sebulan tak ada yang membeli. Bahkan jeriken itu berlumut dan bisa dipakai  memelihara ikan. Semua ini gara-gara harga timah yang sulit.

 

Tag
Share