CERPEN RUSMIN SOPIAN: Perempuan Penari
ilustrasi literasi--
"Kalau Ibu meninggal, kamu harus menggantikan ibu sebagai seorang penari. Kamu harus menari untuk menghibur warga yang butuh hiburan. Berikan mereka kebahagiaan walaupun cuma lewat tarianmu.”
Suara Ibunya terdengar lirih. Bahkan hampir tidak menembus gendang telinganya.
Perempuan muda itu terdiam. Matanya memerah menahan kesedihan melihat ibunya yang tinggal tulang belulang. Wajah Ibunya layu bagaikan daun kering yang dilahap cahaya matahari.
Dulu pesona kecantikan Ibunya tak tertandingi. Kemasyhuran namanya sebagai penari menembus hingga ke Kampung-kampung terluar. Bahkan mampu menaklukkan hati para pembesar dari berbagai pelosok untuk blusukan ke kampung demi melihat dirinya tampil di atas panggung.
Gerakan tubuhnya saat menari di atas panggung sangat luwes. Memesona para penyaksi. Sementara tangan-tangan jahil berusaha menjamahnya dengan saweran. Suara-suara nakal membisikkan hamparan harapan di telinganya. Kini, semua itu hanya catatan memori. Kenangan kehidupan. Sebagai catatan sejarah kehidupannya sebagai manusia.
Hanya dalam tempo sejenak, sepertinya Ibunya akan kembali ke pangkuan sang maha pencipta. Mata sedihnya menatap keluar jendela. Tatapannya menjalang ke arah sebuah pohon manggis yang rindang yang tumbuh di belakang rumah mereka. Seiring terhentinya nafas kehidupan sang Ibu.
Narasi sakral pun menggema. "Innalilahi wa innailaihi rojiun" menggetarkan semesta. Alam bersedih sebagaimana kesedihan menguyur seluruh tubuhnya.
Cahaya rembulan menggairahkan. Kerlap-kerlip bintang mengornamen malam. Perempuan penari itu mengguncangkan pentas hiburan di acara pernikahan anak Pak Kades.
Semua penonton memandang ke panggung . Ke arahnya. Tangannya berayun-ayun. Kakinya menghentak. Sementara pinggulnya bergetar dengan sangat indah. Membuat para penonton makin terlarut dalam emosi jiwa yang menerawang ke mana-mana.