Katanya zaman sekarang bukan hal yang tabu alias biasa. Menampar, mencubit, atau menendang dilakukan demi kebaikan. Dengan hati teriris dan menahan tangis, piala kecil Ifan sembunyikan di balik tas.
Ifan yang di kelas berjalan ke sana dan ke mari selalu mendapat bentakan dan hukuman. Ia harus bersabar mengungu giliran diapresiasi. Dengan rambut merah karena ia warnai, saat pulang ia harus menghadapi teguran demi teguran dari Pak Galak.
“Aniq, terima kasih sudah mengerjakan tugas, ini hadiah dari saya,” Pak Galak dengan sayangnya memeluk sembari memberi hadiah cokelat pada si Jenius Matematika, Aniq.
“Ozy, ini hadiah buku dari bapak karena kamu mendapat nilai tertinggi ulangan IPA, ya” sembari menyerahkan cokelat kedua pada si Pintar IPA.
Ifan belum juga merdeka. Ia hanya mengharap kapan gilirannya dihargai. Ketika bel istirahat berbunyi, langkah gontai menuju kantin sembari menahan tangis. Ia sungguh berharap dihargai, meski yang dijuarai bukan lomba bergengsi, hanya lomba bulu tangkis.
BACA JUGA:CERPEN SOFHIE : Kontradiksi
Ifan mengharap pelukan sayang dari Pak Galak, bukan label nakal. Ia ingin mendapat cokelat atau apapun itu meski hanya juara bulu tangkis. Walau itu hanya sekadar senyum manis.
Dalam hati Ifan bertanya, apakah hanya anak pintar IPA dan matematika saja yang layak dihargai? Sedang ia tak ada artinya. Ia pun harus dipaksa sadar diri, si juara bulu tangkis tak layak bersanding dengan si hebat IPA atau si jenius Matematika.
Ifan belum juga merdeka. Bajunya yang basah tersiram air hanya mendapat cibir. Piala yang sulit ia dapatkan semakin ia tenggelamkan di balik tas. Sungguh Ifan merasa seperti seonggok bantal sobek tak layak disebut penyandar lelah. Hatinya jatuh di titik nadir. Ketika label nakal dan susah diatur telah memahkota, Ifan tak berdaya.
Ifan belum juga merdeka. Tiap hari Ifan hanya menahan tangis, terlihat dari raut merah di mukanya. Dicap durhaka hingga dia pun merasa menjadi anak tak berguna. Meski di dalam tasnya, ia menyimpan piala yang belum tentu anak lain mampu meraihnya.