Anak Harimau yang Tak Akan Pernah Jadi Kambing

Ilustrasi-Screenshot-

Cerpen: Marhaen Wijayanto

 

CIKA yang masih kelas dua SD sangat senang jika puasa datang. Bulan Ramadan seperti sekarang ini adalah ajang mengumpulkan hadiah karena ia menyelesaikan puasa. Tahun kemarin ia mendapat hadiah baju baru dengan sekian ratus ribuan. 

 

Sehari puasa ia mendapat lima ribu rupiah plus tunjangan hari raya atau fitrah untuknya. Untuk anak sekecil ini belum  paham kalau sebenarnya puasa itu bentuk ibadah. Maka sistem reward harus dipaksakan kakek agar cucu perempuan satu-satunya di rumah kami itu mau berpuasa. 

 

Puasa kali ini Cika mengharap beberapa ratus ribu untuk bekal jalan saat liburan hari raya. Kemarin sore dia berunding dengan kakek untuk  kali ini seharinya sepuluh ribu rupiah. Karena jika puasa penuh selama tiga puluh hari, maka dia akan mendapat tiga ratus ribu, naik seratus persen dibandingkan tahun kemarin. 

 

Ayah yang sedang mengutak-atik mobil tua pelanggan, mencuri dengar percakapan anak perempuan satu-satunya di keluarga kami itu. Dia tampak sangat optimis Cika tak seperti kami para kakak lelakinya. Saya harus menyelesaikan kuliah strata satu di kampus tidak terkenal di Jogja dengan berdarah-darah karena  ayah menerima nilai IPK selalu memasang raut semacam bertemu musuh. 

 

“Sudah saat SMA kamu sering berkelahi, kuliah di kampus bobrok pun IPK-mu masih kecil! skripsi berantakkan dan surat ancaman dropout! Terima kasih, terima kasih, anak kesayangan!”   

 

Sedang Rudi, anak lelaki nomor dua, sekarang adalah pelajar yang keluar masuk kantor polisi karena kasus video viral menghina guru di tik tok. Katanya guru sekarang suka korupsi. Ayah yang mendengar video si Rudi otot-ototnya mengeras, tensinya yang biasa stabil mendadak meninggi, dan kolestrolnya mendadak memburuk, padahal ayah termasuk pemilik badan atletis. 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan