SEJARAH EKSPLORASI TIMAH DI PULAU BANGKA (Bagian Satu)

Akhmad Elvian-screnshoot -
Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
BERSAMAAN dengan mahalnya harga Timah di pasaran dunia, baik di Eropa untuk industri termasuk industri Pewter, untuk Amunisi, perhiasan dan pembuatan Picis, maupun di daratan Cina untuk campuran mata uang Cina dan bahan pada Uang Kertas (Kim Ci) untuk upacara persembahyangan agama Khonghucu, dimulailah eksplorasi besar-besaran terhadap biji Timah di sungai-sungai di pesisir Barat Pulau Bangka.
------------------
OLEH sebab itu pada Tahun 1709, Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago telah memerintahkan orang-orang Melayu dan Cina untuk membayar upeti dalam bentuk Timah (Encyclopedia van Nederlandsch-Indie, Vol. I, The Hague: Martinus Nijhoff, 1917, hlm. 35). Sultan Palembang Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago pada Tahun 1709 membuat ketentuan, bahwa mereka yang telah kawin (pribumi Bangka) harus menyerahkan 10 kilogram Timah pada Sultan, sebagai tanda tunduk dan patuh (Sujitno, 1996:59). Pembayaran pajak dengan menggunakan barang seperti Timah disebut dengan sistem Tiban. Sejak masa ini, Timah mulai menjadi sumber penghasilan utama dan sumber kekayaan bagi Kesutanan Palembang Darussalam di samping Lada.
Sejak Tahun 1642 Masehi masa Kerajaan Palembang diperintah Pangeran Sedo ing Kenayan, kerajaan Palembang telah mengadakan ikatan perjanjian perdagangan Lada dengan VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) di Batavia dan pada Tahun 1710 Masehi, ikatan perjanjian Lada tersebut kemudian diperbaharui pemerintah Hindia Belanda dengan perdagangan Timah (Alfiah, dkk, 1983/1984:28). Pada Tahun 1722, tercapai kesepakatan antara kongsi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin dari Palembang terkait monopoli penjualan Timah. Kesepakatan ini membuka pintu lebih lebar bagi Belanda untuk memborong Timah dari wilayah-wilayah di Bangka, termasuk Toboali (ANRI, Laporan K. Heynis, Residen Bangka dan Palembang kepada Comissarissen mengenai distrik Blinjoe, Soengi Liat, Marawang dan Pankal Pinang Tahun 1818).
Timah ditemukan dalam deposit yang besar dan dieksplorasi di wilayah Sungai Bangkakota dan Sungai Olim pada Tahun 1709 Masehi. Eksplorasi dan penelitian biji Timah di Sungai Bangkakota dan sungai Olim kemudian diperluas wilayahnya ke sungai-sungai di sekitarnya seperti Sungai Nyire, Sungai Gosong, Sungai Tagak dan Sungai Kepoh oleh Wan Akub dan Wan Seren dibantu para patih dan batin pribumi Bangka yang berkuasa di daerahnya. Penelitian dilakukan atas perintah Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo (sebelum menjadi Sultan) yang singgah di Bangkakota (sekitar Tiga bulan) untuk mempersiapkan peralatan perang dan memperbaiki kapalnya (18 kapal milik Sultan dan 40 kapal milik Daeng Berani) sebelum menyerang pusat kekuasaan Kesultanan Palembang. Kemudian dari itu maka ratu Mahmud Badaruddinpun berangkat di dalam Hijrah an-Nabi salla ‘Illahu ‘alaihi wa-sallama as-sanat 1127 dan tahun Holanda 1715 (Wieringa, 1990:82). Pengelolaan Timah di Sungai Olim dan sungai-sungai di sekitarnya di wilayah Bangka Selatan kemudian diserahkan Mahmud Badaruddin I kepada Wan Seren dan anaknya Wan Adji atau Tuk Adji. Tutur sapaan kakek/nenek dalam bahasa orang laut pribumi Bangka orang Sekak adalah “Nek” (Iwabuchi, 2013:19). Wan Adji putera Wan Seren kemudian oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo diakhir masa kekuasaannya (sekitar Tahun 1757) diangkat sebagai Keranggan atau Rangga sebagai wakil sultan di Pulau Bangka (Karim, dkk, 1996:8). Deposit Timah dalam jumlah yang besar dan kemudian dieksplorasi di Pulau Bangka juga ditemukan oleh Depati Angor atau Depati Karim sekitar Tahun 1710 di Wilayah Merawang dan ditemukan lagi setahun kemudian dalam deposit yang besar di wilayah Tjepurak (Bakar,1969:8).Tidak hanya Tiga data Tahun 1709, 1710, 1711, penemuan deposit dan eksplorasi Timah di Bangka, terdapat sejumlah versi bagaimana penemuan deposit Timah di Bangka. Karena kandungan biji Timah mendekati permukaan tanah, Timah tidak sulit untuk ditemukan (Heidhues, 2008:9).
Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin I Jayowikramo (Tahun 1724-1757), dibangunlah pusat kekuasaan awal Pulau Bangka yang berkedudukan di Kota Mentok. Penguasa Pulau Bangka sebagai wilayah Sindang yang berstatus merdeka atau bebas (vryheren) adalah orang yang ditunjuk sebagai wakil sultan dan memiliki kekuasaan yang besar sampai pada memutuskan perkara mati bagi pelaku pelanggaran adat dan pelanggaran aturan kesultanan. Sebagai penguasa awal yang mengatur pemerintahan dan pertambangan Timah di Pulau Bangka diangkatlah Wan Abdul Jabar atau Datuk Dalam Hakim (mertua sultan Mahmud Badaruddin I). Setelah meninggalnya Datuk Dalam Hakim atau Wan Abdul Jabar, kemudian diangkatlah Datuk Akub atau Datuk Rangga Setiya Agama, dan selanjutnya setelah wafatnya Datuk Akub, kekuasaan atas Pulau Bangka diserahkan oleh sultan kepada putera Datuk Wan Seren yaitu Datuk Wan Usman. Jabatan Datuk Wan Usman adalah sebagai seorang Manteri Rangga yang dikenal dengan sebutan Datuk Adji Manteri Rangga Usman. Kedudukan Manteri Rangga Usman, sama kedudukannya dengan Manteri Rangga yang ada di Kesultanan Palembang Darussalam. Sama halnya dengan Datuk Dalam Hakim dan Datuk Rangga Setiya Agama, Manteri Rangga Usman memiliki kekuasaan yang besar sebagai kepala pemerintahan dan pertambangan Timah di seluruh Pulau Bangka.
Kota Mentok sebagai pusat pemerintahan dan pusat Penambangan Timah di Pulau Bangka sekitar pertengahan abad 17 dan 18 Masehi semakin berkembang dan maju. Awalnya Kota Mentok banyak dihuni orang pribumi Bangka dari Proatin Punggur dan Sukal, serta proatin di sekitarnya, kemudian Kota Mentok mulai ramai dihuni oleh orang Melayu dari Johor dan Siantan, selanjutnya Kota Mentok semakin ramai dengan kedatangan orang Cina dari Siam, Kamboja dan Patani serta dari Kochin. Orang Cina, datang ke Mentok Pulau Bangka, awalnya didatangkan oleh seorang peranakan Cina Palembang bernama Coeng Hoeyoet atas perintah Sultan Palembang (Sultan membuat kebijakan mendatangkan pekerja-pekerja Cina yang terampil untuk menambang Timah guna meningkatkan produksi Timah di Pulau Bangka dan untuk memenuhi kontrak perdagangan Timah dengan VOC yang secara awal telah ditandatangani pada Tahun 1710 Masehi, masa sultan Muhammad Mansyur Jayo Inglago dan kesepakatan antara kongsi dagang Belanda VOC dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin dari Palembang terkait monopoli penjualan Timah Pada Tahun 1722. Pada masa Datuk Wan Abdul Jabar dan Datuk Wan Akub, orang Cina awalnya hanya tinggal di Mentok, Belinjoe (Pandji) dan Boenoet, akan tetapi pada masa Rangga Usman, pemukiman orang Cina sudah meluas menempati juga wilayah Rambat hingga sampai ke wilayah Tempilang, terutama seiring dengan perkembangan penambangan Timah di wilayah wilayah tersebut.
Pada masa Rangga Usman berkuasa di Mentok, berkuasa pula seorang Cina bernama Oen Asing atau Boen Asiong, yang karena keahliannya dalam pertimahan dan dekat dengan Rangga Usman diangkat menjadi Kapitan Cina, menggantikan Coeng Hoeyoet (Soejitno, 2011:150). Seiring dengan perkembangan Kota Mentok dan perkembangan pertambangan Timah, kejahatan di bidang pertambangan Timah pun terjadi. Persaingan pengelolaan pertambangan Timah terjadi antara orang dari Siam dibantu orang Palembang dengan orang Cina di wilayah Beluh (Belo), yang menimbulkan korban besar di Dua pihak dan menyebabkan Satu aliran sungai menjadi busuk karena bangkai orang yang mati berkelahi, sehingga aik atau anak sungai tersebut dikenal dengan sebutan Aik Seboesoek. Keributan dapat diatasi oleh Manteri Rangga Usman dan setelah diselidiki terbongkarlah kejahatan berupa praktek curang pertimahan yang dilakukan Boen Asiong, yaitu menyelundupkan atau menjual Timah tidak kepada sultan akan tetapi menjualnya ke wangkang-wangkang Cina yang merapat di pelabuhan tersembunyi yang aman dekat Mentok. Setelah kejahatannya terbongkar, Boen Asiong ditangkap oleh Rangga Usman dan di kirim ke sultan Palembang untuk diadili. Boen Asiong dijatuhi hukuman mati, seluruh hartanya dirampas, akan tetapi karena Boen Asiong sangat kaya, banyak Manteri-Manteri di Kesultanan Palembang yang menolongnya, dan hukuman matinya pun gagal dilakukan, akan tetapi dihukum seluruh hartanya disita dan Boen Asiong dibuang ke wilayah Huluan Palembang di dusun Belid dekat Muarabeliti. Menurut F.S.A. De Clereq dalam bukunya “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895, menyatakan: “Met de voortgezette ontginning van nieuwe mijnen werd het aantal inwoners van Muntok grooter en waren er onder de Chineezen velen, die heimelijk tin stalen. Een zekere Chinees, met name Oen Asing, was daardoor zeer rijk geworden, daar hij het gestolen tin verkocht aan de wangkang's, die Muntok aandeden. Op zekeren tijd ontstond hierover twist tusschen de Chineezen, Sijameezen en Palembangers, die in de mijnen te Beloeh werkten. Velen warden gedood en hunne lijken geworpen in de rivier Semboesoek. Aldus de schuld van Oen Asing gebleken zijnde, liet de Rangga hem gevangen nemen en naar Palembang brengen, waar de Sultan hem ter dood veroordeelde. Wegens zijn rijkdom werd hij echter door vele Mantri's te Palembang geholpen en ontging de doodstraf, maar zijn eigendommen werden verbeurd verklaard en hij zelf verbannen naar de doesoen Belid, van waar hij niet naar Bangka mocht terugkeeren” (Clereq, 1895: 144-145). Menurut Heidhues (2008:14), Oen Asing atau Boen Asiong kemudian kembali lagi ke Bangka atas permohonan orang Bangka dan sultan membebaninya dengan pekerjaan membangun sebuah Benteng di Mentok dan sebuah gudang di Beluh (Belo) serta menamakannya Kapitan Cina, Kapten bagi orang-orang Tionghoa.***