Saat pelajaran dimulai, Pak Guru yang biasa duduk di sebelahnya tak luput dari berita gembira itu. Dia menulis di buku pelajarannya, “Kakakku pengibar bendera!”
Rafli menuliskan isi bukunya itu dengan kabar gembira di keluarganya. Sedari pagi hingga menjelang istirahat pertama yang ada dipikirannya hanya ada kakaknya yang akan mengibarkan bendera di istana.
Bel berbunyi untuk istirahat. Teman sekolahnya yang ada di kantin ia beri tahu, tapi tak semua temannya peduli, bahkan hanya termangu. Sama sekali itu bukan berita yang harus mereka tahu.
BACA JUGA:CERPEN RUSMIN SOPIAN: Lelaki di Balik Kesedihan Rimba
“Ahaiii, korban WWF kita datang! Haha! Si Marmut alias Kelinci!”
Rafli tak jua sadar dengan orang-orang di sekitarnya yang tak mau tahu. Hinaan itu masih saja bergema di manapun Rafli berlalu. Namun dia tetap tegar, tetap saja menganggap berita kakaknya menjadi pengibar bendera adalah kabar yang seluruh dunia juga harus tahu.
Ia tak menyerah dengan semua itu. Masih saja hampir pulang sekolah semua orang harus ikut senang tentang kabar terbaru.
Namun semua tak peduli, membisu, tak ada yang bergeming. Rafli mulai menyerah karena dia adalah korban bullying, maka prestasi apapun tak akan mempan bagi pelaku.
Sekali dirundung dan di-bully, tetap saja Rafli akan dihajar dan disikat oleh teman-temannya. Dijadikan hiburan, dicaci, dan dianggap tak berarti.
Anak kecil yang kakaknya punya prestasi hebat itu tatap dan tetap saja bagai badut bagi perundung. Di bulan Agustus yang selalu saja semua orang bisa berteriak merdeka, namun tetap saja bagi Rafli, ia adalah tawaan satu sekolah.
Dunia baginya masih terasa mendung. Langkah kaki dari ujung lapangan, kelas, kantin, membuat hati gembira terasa tersandung. Padahal yang ia harap dari kabar gembira adalah rasa kagum, bukan lagi dirundung.
“Ah, kakakmu diminta melepas kerudung! Apa itu?”
BACA JUGA:PUISI-PUISI SULTAN MUSA
“Iya, biasa saja kali! Jangan-jangan sepulang dari IKN, dia jadi ninja macam kamu?”
“Saya juga dulu pengibar bendera. Biasa saja ya!” ucap guru kelasnya memotong hinaan pada Rafli. Dia dikatakan seperti prajurit tradisional Jepang.
“Untung hanya kerudung yang dilepas. Bukan baju! haha.”