Koin Dua Ratus Rupiah bertambah semangat menceritakan selentingan berita yang pernah didengarnya. Api semangatnya semakin menyala ketika mendapat dukungan dari saudara bungsunya itu.
“Kemarin aku ditolak oleh yang punya warung.”
“Katanya mereka tidak menerima lagi bentuk seperti ku."
Koin Seratus Rupiah tampak sangat sedih dan kecewa. Koin Dua Ratus Rupiah hanya tersenyum, seolah mengiyakan.
"Padahal dulu mereka sangat memerlukan kita."
Koin Seratus Rupiah belum mau berhenti curhat kepada teman yang dianggap sebagai sohib karibnya itu.
“Benar itu, mereka sekarang seolah menganggap kita anak tiri saja.”
“Coba lihat yang ditampilkan di media, selalu mereka yang nominalnya besar. Untuk bukti korupsi, bukti
kolusi dan bukti-bukti lainnya selalu yang besar dan baru."
“Kita hanya dianggap pelengkap saja, padahal tanpa adanya kita tidak genap hitungan mereka"
Kali ini koin Dua Ratus Rupiah menimpali dengan semangat yang lebih berapi-api. Pernyataan koin Dua Ratus Rupiah itu memang tidak bisa dibantah. Karena ia melontarkan itu berdasarkan fakta. Semisal tayangan yang ditampilkan di layar kaca selalu bentuk dan nominal yang besar saja.
“Bagaimana kalau kita pergi ke daerah yang bisa menerima kita tadi!”