Tarik Aker Gunung Berringgut
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
PILKADA Ulang 2025 Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka, kita tunggu siapa calonnya, perhatikan “keringol”-nya, apa visi misi-nya dan bagaimana latarbelakang kehidupan pribadi, asalnya dan keluarganya, intelektual dan spiritualnya, serta sejauh mana kemungkinan ia akan mampu daerah menjadi lebih baik.
--------
ENTAH mengapa, kok menjelang Pilkada ulang 2025 di Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka, hampir setiap hari saya mendapat pertanyaan, baik langsung maupun via telepon dari kawan di kampung-kampung, yang intinya: “Kemana kita Pilkada ini?” atau “Dukung siapa kita ne seperadik?” “ape komando dari Pok?”. Ndilalah, kok nggak ada yang menanyakan atau setidaknya meminta saya untuk ikut “berambisi” menjadi salah satu calon.
Dari banyak pertanyaan itu saya sudah mempersiapkan jawaban yang hampir sama: “Lom tau aben!” (belum tahu sama sekali). Bagaimana tidak, wong calon-nya saja belum ada, karena yang ada sekarang adalah orang yang kepengen mencalonkan dan belum menjadi calon (belum ada yang pasti). Mereka sendiri “lom tau aben” apakah bisa jadi calon atau tidak.
So, kita tunggu saja siapa calonnya, perhatikan “keringol”-nya, apa visi misi-nya dan bagaimana latarbelakang kehidupan pribadi, asal dan keluarganya, intelektual dan spiritualnya, serta sejauh mana kemungkinan ia akan mampu membawa daerah menjadi lebih baik. Nah, barulah kita tentukan siapa yang harus kita dukung dan kita pilih. Kepada mereka yang bertanya saya selalu mewanti-wanti dengan kalimat orangtua dulu bahwa sebagai rakyat kecil, kita: “jangan jadi ayam puteh terbeng siang” (jangan bersikap seperti “ayam putih terbang di siang hari”).
Ibarat mengobati penyakit, kita harus tahu apa penyakit daerah kita, terus siapa dokternya yang kira-kira cocok. Sebab seringkali sakitnya jantung, tapi yang kita pilih dokter kulit atau bahkan tukang skincare.
Politik & Istilah Urang Kampong
WALAUPUN bukan untuk kepentingan menjelang politik pilkada ulang, beberapa pekan ini saya agak sering keluar masuk kampung dan pastinya juga bertemu dengan masyarakat di Kota Pangkalpinang. Ngobrol dan bercanda ria dengan para orangtua dan kawan-kawan seringkali saya mendapatkan ilmu yang tak terduga, terutama dalam hal penggunaan istilah dan bermain kata penuh makna. Inilah salah satu yang membuat saya mencintai bahasa daerah, local wisdom dan hal-hal yang berkaitan dengan daerah atau kampung.
Modernisasi tak bisa kita hindari, canggihnya teknologi harus kita ketahui, tapi untuk tahu dan belajar tentang kekayaan budaya sendiri adalah sebuah keharusan bagi generasi muda agar mereka tidak lupa identitas diri.
Dulu para orangtua di kampung-kampung di Pulau Bangka seringkali mengistilahkan perilaku menipu kawan, membuat masalah, memancing keributan dengan kalimat “tarik aker gunung beringgut”.
Makna harfiahnya adalah seseorang yang sedang berada dikaki gunung (dibawah) menarik salah satu ujung akar yang ujung satunya berada di puncak gunung. Karena tarikannya itu, sehingga pohon-pohon yang berada di atas gunung menjadi bergerak seperti bergoyang-goyang seakan-akan ada sesuatu diatas gunung. Lantas sang penarik mengatakan bahwa ada hantu diatas sehingga “gunung beringgut” (bergerak) dan kawan-kawan pun berlari kocar-kacir karena ketakutan.
Ketika pertarungan politik perebutan kekuasaan Kepala Daerah, kerapkali istilah lokal (tarik akar gunung beringgut) ini saya dengar. Tidak hanya dalam istilah, tapi ilmu/strategi ini pun dilakukan oleh banyak orang dalam mengatur strategi untuk mencapai sesuatu, terutama dalam politik kekuasaan.