Tarik Aker Gunung Berringgut
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Namun hal yang paling sering dilakukan untuk masyarakat kampung sebagai objek politik kekuasaan adalah strategi “Tiga lilit sembilan lingker” (Tiga lilitan sembilan ikatan). Yakni mengikat seseorang atau sekelompok orang dengan ikatan yang susah dibuka, seperti pemberian berbentuk materi, bantuan pengobatan, janji pekerjaan yang dijadikan sebagai pengikat. Percaya atau tidak, pengikat atau pemberian yang terakhir (menjelang pemilihan) itulah yang bakalan diingat dan umumnya jadi pilihan para pemilih. Oleh karenanya, para calon yang terlalu cepat menghambur-hamburkan pemberian, bakalan “ngiret kaleng” akan kehabisan “modal” dan menjelang finish rakyat baru menentukan pilihan seraya menunggu pemberian di detik-detik hari pemilihan oleh Timses.
Karena ilmu “tanggok-menanggok” disaat Pemilu dan Pilkada langsung adalah ilmu yang sudah mendarah daging ditengah masyarakat kita. Bahkan ada bagi sebagian orang dan kelompok menjadikan “tanggok-menanggok” itu sebuah pekerjaan. Jangan heran jika setiap ada Pilkada, mereka ini selalu muncul dan bersikap seperti orang penting, memiliki massa, dan biasanya menggunakan mobil operasional Tim.
Ibarat “nanggok” ikan di dalam air, saat pekerjaan itu dilakukan tidak hanya ikan saja yang didapatkan. Karena bisa jadi niatnya “menanggok” ikan, namun yang didapatkan adalah sampah, berudu, katak, bahkan ular. Oleh karenanya kepada mereka-mereka yang menjadi Timses yang kebagian posisi sebagai penanggok maupun yang ditanggok, hendaknya hati-hati sebagaimana istilah orangtua di kampung-kampung, jangan sampai “Nanggok kelik dapat sabak”(Memburu lele dapatnya ular Sabak/Sanca).
***
PILKADA ulang 2025 di Kota Pangkalpinang dan Bangka, semoga benar-benar pesta demokrasi dan mampu mendidik masyarakat kampung dalam hal berpolitik. Bagi saya, orang kampung adalah rakyat yang sangat memahami kehidupan bersama alam. Kejujuran dan budaya mereka tak boleh tergerus oleh politik-politik yang sangat tidak mendidik. Mereka terlalu jujur untuk kita tipu daya hanya karena kekuasaan. Mereka terlalu santun untuk kita ajak urakan sebagaimana kebiasaan dan budaya kebanyakan orang-orang kota. Mereka sudah sangat berbudaya untuk kita ajak berbudaya ala kebarat-baratan. Politik mereka adalah politik hati nurani, budaya mereka berlandaskan kejujuran.
Pilkada ulang 2025 di Kota Pangkalpinang dan Bangka, biarkan ilmu “tarik aker gunung beringgut” dimainkan oleh orang-orang partai dan kawan-kawannya, karena ilmu mereka sudah sangat tinggi sedangkan kita tak tahu apa-apa. Startegi “tiga lilit sembilan lingker” jangan sampai dilakukan kepada rakyat-rakyat kecil di kampung, apalagi dengan menghambur-hamburkan sembako, kain sarung, mukena, bantuan sesaat, janji palsu dan hal-hal yang sangat mengecilkan arti keberadaan mereka sebagai ikatan bahwa mereka harus memilih yang sudah memberi (sinterklas dadakan). Semoga tak ada sinterklas-sinterklas kota ditengah-tengah masyarakat kampong. Juga jangan ajak masyarakat kampong menjadi tukang “tanggok”. Besar kekhawatiran saya nanti mereka diajak nanggok kelik (ikan lele), tapi yang didapatkan adalah “sabak” (ular sanca).
Pemilihan makin dekat, mari berdemokrasi sehat, menjaga kesehatan rohani rakyat dalam berpolitik dan menjaga kearifan kampong jauh lebih baik daripada sekedar kekuasaan!
Salam Budak Kampong!
Salam Kekuasaan!(*)