CERPEN MARHAEN WIJAYANTO: Surga di Telapak Kaki Ayah

Ilustrasi-Canva-

“Ayah, jika ibu hamil, berarti saya mau punya adik lagi ya?”

 

“Nak, di Palestina banyak anak kehilangan ibu karena tubuhnya hancur berkeping.”

 

Lagi-lagi berita terbaru di Jalur Gaza lebih menarik alur pikir di rumah kami dibanding dengan ibu yang hendak melahirkan anak dari suami mudanya. Ayah tak peduli dengan keresahan di kanan dan kiri rumah. Bagi ayah, gosip tak berguna tetangga adalah akibat dari bantuan-bantuan tunai yang sifatnya tak membuat masyarakat semakin cerdas dan mendidik. 

 

“Bantuan langsung tunai  dibuat oleh mereka yang suka membeli suara saat pemilu, pilkada, atau even pesta demokrasi. Wajar kalau masyarakatnya jadi bodoh, termasuk menikah lagi di saat rumah tangganya baik-baik saja. Itu jawaban ayah dari pertanyaan ‘Mengapa Ibu Menikah Lagi?’”

 

Biasanya ayah cuek. Tapi kalimat terakhir ini sama saja menganggap  ibu menikah lagi adalah hal bodoh. Saya merenung dan akhirnya ikut membaca tumpukkan koran nasional tentang kematian-kematian di Gaza yang selama ini saya acuh. 

 

Di  koran nasional, bantuan langsung tunai ada di samping kabar berita porak-porandanya bangunan di Gaza. Sedari kecil ayah akrab dengan bacaan berbobot. Sedikit saja ada tulisan di koran, maka hingga tengah malam dia dan komunitasnya membahas hingga menjelang pagi. Mulai masalah sederhana hingga rumit. Komunitas ayah akan  bertempur mendapat jalan agar negara ini tuntas dari kebodohan demi kebodohan.

 

Sepertinya merekalah  yang justru pusing memikirkan kondisi rakyat dibanding para penguasanya yang gemar jalan-jalan berdalih studi tiru, studi banding, atau mencari investor ke luar negeri. Bagi ayah dan komunitasnya, rakyat  bodoh berasal dari kebijakan yang bodoh. 

 

Sementara buku biologi saya menjelaskan maksimal wanita bisa dibuahi adalah usia 51 tahun sebelum ia menopause. Berita tentang ibu hamil oleh suami mudanya  justru menjadi hal asing, meski dari luar terlihat itu sebuah bencana. Ayah menuangkan kopi pada gelas. Bagi kami, beliau seperti rumah sebagai tempat berteduh, tahu mengajarkan cara yang cukup bijak untuk mengarungi hidup. Hingga kami mengakui bahwa  surga ada di telapak kaki ayah. **

Tag
Share