Lah Teliwat
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Lagi-lagi atas saran kerabatnya, sang isteri harus diberi makan hati kambing. Lantas Pak Tani pun menyembelih kambing kesayangannya dan memberikan hati kambing kepada isteri. Tapi apa daya, beberapa hari berselang nyawa sang isteri tercinta tak dapat tertolong. Banyak sekali orang yang datang melayat hingga 7 hari. Pak Tani pun terpaksa menyembelih seekor sapi kesayangannya untuk memberi makan orang-orang yang melayat.
Dari kejauhan sang tikus menatap dengan penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat perangkap tikus tersebut sudah tak digunakan lagi di rumah Pak Tani karena mungkin oleh Pak Tani dianggap membawa sial. Sang tikus pun turut prihatin dengan kejadian yang menimpa isteri Pak Tani beserta para sahabatnya sesama binatang.
Nah, dari kisah inspiratif ini, sebenarnya terdapat nilai-nilai yang bisa kita ambil. Seringkali kita mendengar seseorang baik sahabat karib maupun kenalan baru yang datang curhat mengenai kekhawatiran dalam dirinya. Namun seringkali kita menganggap itu tak ada pengaruhnya pada diri kita (bukan urusan kita) sehingga hilang rasa empati atau kepedulian.
Melayu adalah Peduli
SALAH satu sifat orang Melayu adalah memiliki rasa peduli yang tinggi, saling asah, asih dan asuh dan jauh dari perilaku saling gasak, gesek dan gosok jika tidak diganggu. Sehingga perilaku gotong royong dan saling membantu adalah perilaku asli masyarakat Melayu.
Di sisi lain, orang Melayu begitu terbuka kepada kaum pendatang tanpa memandang agama atau kesukuan. Namun ketika kaum pendatang tak mampu menjunjung petuah “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” atau bersikap kebangetan alias “lah teliwat”, orang yang benar-benar Melayu akan bergerak menunjukkan kepeduliannya. Misalnya, ada pendatang hendak memimpin dan memborong partai politik, lantas para putra daerah tak diberi kesempatan mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah. Jika kita diam saja dan tidak mendukung Kotak Kosong, imang lah teliwat. Ingatkah tulisan Minggu lalu saya menulis kalimat “Rusep Berasa Tempoyak?”. Betapa banyak saya mendapat telpon dan WA baik yang mendukung maupun yang menganggap terlalu etnis dan sebagainya.
Bagi orang Melayu, siapa saja boleh tinggal dimana pun, mengais rezeki di setiap jengkal bumi Allah SWT, namun jika sudah mulai mengeruk dan menjadikan pribumi sebagai “budak” karena kekuasaan dan kekayaan serta menganggap mampu membeli hukum beserta aparatnya, membeli partai politik, membeli centeng-centeng, dengan tidak mengindahkan norma-norma setempat, maka layaklah masyarakat Melayu untuk menunjukkan jati dirinya.
Tapi kelemahan dari orang Melayu adalah sangat gampang di adu domba yang pada akhirnya tak lagi saling asah asih dan asuh, namun saling gasak gesek dan gosok. Itulah wajah “melayu” kita hari ini, sehingga sampai saat ini kepedulian kita terhadap kondisi negeri dimana kita dilahirkan ini sudah mulai luntur dan lentur, bahkan lebih “teliwat” (kebangetan/kurang ajar) kepada para orangtua yang telah berjasa terhadap keberadaan negeri ini kita pun hilang rasa kepedulian. Malah lebih “teliwat” lagi kita cuek ketika para pendatang di negeri ini bersikap tak ramah dengan mengobrak-abrik budaya dan kekayaan alam kita dan kekuasaan?.
Nah, dari tulisan kali ini saya ingin mengajak kita semua untuk melihat dan merenung akan kondisi negeri hari ini dari berbagai lini, baik ekonomi, politik, hukum, pemerintahan (birokrasi), pelayanan terhadap rakyat, pergaulan remaja/pemuda, sikap orangtua, dan lain sebagainya. Sudahkah kita harus berdiam diri tanpa ada rasa peduli? Jangan sampai ketidakpedulian itu justru akan menimpa diri kita sendiri akibat perilaku cuek dan egois yang kita miliki melebihi batas alias kebangetan, yang dalam bahasa Bangka, “lah teliwat igak!”. Sehingga kita bersikap egois sebagaimana cerita dongeng binatang tadi.
Salam Teliwat!! (*)