Lah Teliwat
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
DI NEGERI ini terlalu banyak orang berbuat “sekenek perot”, bukan hanya urusan “perot” tapi juga hukum, kekuasaan dan pengerukan kekayaan alam. Jika kita hanya diam bahkan ikut berpartisipasi di dalamnya, itu namanya “Lah Teliwat”
---------
DALAM sebuah dongeng, diceritakan sepasang suami isteri yang berprofesi sebagai petani pulang ke rumah setelah seharian berbelanja ke pasar. Ketika mereka membuka barang belanjaan, seekor tikus memperhatikan dengan seksama sambil bergumam:
“Hmmm…, makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar?”
Dari sekian banyak belanjaan, ternyata salah satu yang dibeli petani tersebut adalah perangkap tikus. Sang tikus kaget bukan kepalang dan ia pun lari ke kandang menemui ayam. Kepada ayam ia berkata: “Ada perangkap tikus! Bahaya ini”. Mendengar curhat sang tikus, ayam pun berkata:
“Tuan tikus, aku turut bersedih, kamu bersabar dan hati-hati saja ya”. Selanjutnya sang ayam bergumam dalam hatinya: “Perangkap tikus? itu tidak berpengaruh terhadap diriku”.
Selanjutnya dengan penuh semangat dan pengharapan, sang tikus pun datang menemui seekor kambing sambil kembali mengadukan kekhawatiran dirinya akan keberadaan perangkap tikus. Hampir sama dengan si ayam, kambing pun berkata dengan turut prihatin: “Aku turut bersimpati, tapi mohon maaf yang mendalam, tidak ada yang bisa aku lakukan”. Sang Tikus pun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Sepeninggalan sang tikus, kambing pun berkata pada dirinya sendiri: “Perangkap tikus tidak membahayakan diriku sama sekali. Nggak ada urusan deh!”
Begitu juga ketika ia mendatangi seekor Sapi, sang tikus tak mendapatkan jawaban yang memuaskan bahkan dengan sombong sang sapi berkata: “Aku ini sapi bukan tikus. Perangkap tikus terlalu kecil untuk menjerat diriku”. Dalam bahasa Bangka si Sapi berkata: “Sekali terajang, tepacol tu perangkap tikus”
Sang tikus terbirit-birit lari ke hutan dan bertemu dengan seekor ular. Kepada sang ular, ia ceritakan kembali kekhawatirannya. Tapi ia kembali memperoleh jawaban yang sama yakni sekedar “turut prihatin” dan juga berkata pada dirinya sendiri sambil melepas tawa tatkala sang tikus sudah pergi dari hadapannya: “Ah, perangkap tikus, nggak ada pengaruh pada diriku. Aku kan ular bukan tikus! Urusanmu ya urusanmu bukan urusanku!”
Akhirnya sang tikus pun kembali ke rumah petani dengan hati yang sedih dan pasrah dengan membayangkan akan terjebak dalam perangkap tikus tanpa ada yang bisa membantu walaupun sesama binatang. Para sahabatnya selama ini ternyata bukanlah sahabat sejati bahkan tak memiliki empati dan tak “berprikebinatangan”. Tinggallah ia harus menghadapi mara bahaya yang mengintai dengan sendirinya.
Suatu malam, isteri sang petani terbangun karena mendengar suara keras dari perangkap tikus yang ia pasang. Hal ini menandakan perangkapnya telah memakan korban. Namun alangkah kagetnya ketika ia melihat di perangkap tikusnya seekor ular terjebak. Ekor ular terjepit di perangkap tikus dan itu membuatnya semakin ganas dan menyerang isteri petani tersebut. Walaupun akhirnya sang suami berhasil membunuh sang ular, namun isterinya yang sempat tergigit sudah terracuni oleh bisa ular. Setelah sempat dibawa ke Rumah Sakit dan beberapa hari opname, sang isteri pun diperbolehkan pulang. Namun beberapa hari kemudian, sang isteri mengalami demam tinggi. Atas saran kerabatnya, ia membuatkan isterinya sup ayam untuk menurunkan demamnya. Tapi semakin hari bukannya mengalami kesembuhan, justru demam pun semakin tinggi.