(K)otak Kosong

Ahmadi Sopyan-screnshot-

spontan saya pun menjawab: “Demokrasi Sembako dan Rupiah, mas bro!”. 

“Maksudnya Bung?” tanya kawan lagi. 

“Rakyat kecil cukup dengan sembako, sedangkan partai politik harus deal dengan rupiah” ujar saya semaunya.

Bukan tanpa alasan kalau “kekeliruan” jawaban itu saya utarakan karena masalah besar dalam proses demokrasi kita yang menjadi sorotan salah satunya adalah masalah nilai uang yang diberlakukan partai politik. Bukan rahasia umum, yang punya uang bisa dapatkan partai, yang tak punya uang selamat bermimpi ria walau seorang kader potensial sekalipun. Pun demikian dengan rakyat, setidaknya sembako adalah buah tangan agar rakyat berkenan menuju TPS guna memilih sang pemberi sembako. Apalagi ditambah recehan lembaran uang yang tak seberapa. 

Adanya anekdot “ambil uangnya dan jangan pilih orangnya” atau “terima dan nikmati sembakonya, jangan pilih orangnya” merupakan bukti bahwa kecenderungan pemilih lebih pada konten ketimbang konteks. Kalimat tersebut juga sekaligus menggambarkan kecerdasan rasionalitas pemilih. Uang yang diambil atas pemberi pihak calon tentu mendatangkan keuntungan pribadi bagi masyarakat yang menerima. Tetapi, dilain sisi mereka juga sadar bahwa pemberian uang dalam pemilu maupun pemilukada demi mendulang suara adalah hal yang sangat tidak dibenarkan bahkan merupakan perilaku terbodoh bagi masyarakat intelektual.

Oleh karenanya, realitas semacam ini sudah seharusnya menjadi bahan pikiran oleh para Caleg, Peserta Pilkada dan Parpol dalam menyajikan atraksi merebut simpati masyarakat. Sudah saatnya pula para Caleg, Peserta Pilkada dan Parpol yang bertarung untuk mengubah perilaku politik seperti selama ini (sampai sekarang) dilakukan. Dari atraksi bak film India, dari luar nampak bagus dengan pemain yang aduhai, mempesona dengan suara merdu yang membuat kita terlena, tapi pada akhirnya menghilang dan tenggelam setelah usai pesta demokrasi, dan ketemu lagi pada Pemilu atau Pilkada berikutnya.

Siapa yang salah dari demokrasi semacam ini? tentunya kita semua, pemerintah, Parpol, Caleg, peserta Pilkada, Timses bahkan rakyat semuanya berjama’ah dalam kesalahan ini. Politik uang yang dilakukan oleh para Caleg dan peserta Pilkada seperti selama ini berlangsung adalah penyebab utama dari bobroknya mental masyarakat kita dalam memahami demokrasi. Wajar saja jika Golput (golongan putih) atau orang yang tidak memilih menjadi semakin bertambah. Karena mereka cenderung dilematis, calon yang satu ngasih lembaran uang, yang satunya memberi sembako, yang satu lagi ngasih jilbab, yang satu lagu kaos bola dan akhirnya untuk “aman” ia pun tidak memilih. 

Karena memang, sejak reformasi bergulir, era sekarang adalah era demokrasi bebas melakukan apa saja. Bahkan siapa saja bisa memimpin negeri ini, bisa mewakili rakyat walau tanpa harus memiliki kemampuan dan wawasan serta pengalaman yang memadai. Tak peduli menjadi wakil rakyat yang ternyata jauh lebih bodoh dari rakyat yang ia wakili, yang penting duduk dan fasilitas hidup dibiayai oleh negara, termasuk berwisata dengan judul studi banding. 

Rakyat pun tak mau kalah, mereka sangat menikmati bahkan menunggu moment Pemilu maupun Pilkada karena disitulah “sedekah” calon besar-besaran diberikan kepada rakyat. para calon tiba-tiba muncul bak Sinterklas menjadi dewa penolong dan penuh kepedulian walau sebelumnya tak pernah melakukan apapun kepada rakyat bahkan kepada diri sendiri dan keluarganya saja mereka tak pernah berbuat. Akhirnya tanpa disadari rakyat kita terdidik menjadi “tukang tanggok” sehingga tak perlu repot bagaimana seharusnya memilih pemimpin atau wakil rakyat yang berkualitas. 

Di sisi lain, era demokrasi sembako dan rupiah ini ternyata memunculkan berbagai macam elemen masyarakat mengklaim diri memiliki massa, memimpin organisasi ini dan itu, punya konstituen yang loyal, memiliki seperadik dimana-mana dan berbagai klaim lainnya kepada para kandidat atau caleg akan menjamur, terutama kandidat yang dianggap memiliki banyak materi. Klaim ini pun nampaknya seiring dan seirama dengan klaim para kandidat yang “narsis” mengklaim diri mampu berbuat, peduli, amanah, tegas, merakyat, berjuang demi rakyat untuk rakyat walaupun sebelumnya tidak mengenal rakyat yang akan ia pimpin, mengusung perubahan (walaupun tidak jelas) dan seabrek narsisme-narsisme para kandidat di sepanjang jalan dengan baliho raksasa “cetar membahana melewati garis khatulistiwa”, begitu menurut artis lebay Syahrini. Akhirnya parade tukang tanggok yang kesini “aok” kesana “aok” pun kian menjamur melebihi baliho, spanduk dan stiker caleg dan partai itu sendiri.

Nah, karena politik uang inilah akhirnya muncul sistem borong partai. Ada kalimat: “Lebih baik keluar uang borong partai, tapi hasilnya jelas daripada keluar uang saat kampanye, hasilnya tidak pasti. Jadi, lebih baik lawan kotak kosong, jelas menang didepan mata?” Mengapa kok bisa? Sebab logikanya, yang tidak setuju dengan paslon pasti tidak datang ke TPS alias golput, dan itu menguntungkan satu-satunya Paslon. Nah, kira kira, ada nggak kotak kosong yang bakalan menang di Pilkada 2024 di Bangka Belitung ini? Saya sih berdo’a semoga ada agar menjadi pembelajaran demokrasi kedepan. Sebab Kotak Kosong lebih baik ketimbang Otak Kosong. Yang paling enak sih, otak-otak.

Salam Otak-Otak!(*)

 

 

Tag
Share