(K)otak Kosong

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

“Politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun 

kita harus mengeluarkan uang”

(Will Rogers)

   

WALAUPUN bukan Caleg dan bukan  peserta Pilkada apalagi Timses Paslon maupun Kotak Kosong, saya cukup rajin diskusi dengan berbagai kalangan, masuk ke kampung-kampung dan berdialog langsung dengan masyarakat, apalagi menjelang Pilkada seperti sekarang ini. Pondok Kebun saya yang ada di hutan ternyata sering didatangi banyak kalangan, berbagai hal didiskusikan, apalagi menjelang Pemilu atau Pilkada. 

Beberapa minggu terakhir ini, tidak ada obrolan atau diskusi yang lebih menarik dan hangat kecuali mengenai Pilkada, terlebih Kotak Kosong serta kasus hukum yang akan membelit calon yang sudah mendaftarkan diri ke KPUD. 

Kala musim Pilkada, di Warung kopi, teras rumah, pondok kebun, teras masjid atau mushola, kantor, dan berbagai tempat lainnya, komentator-komentator soal Pilkada menjadi topik paling hangat. Terlebih di group-group WhatsApp (WA), sampai harus mencela, mencaci bahkan kadangkala tidak menunjukkan sama sekali sebagai Melayu yang memiliki adab dan adat serta intelektual. Namun begitulah kelas demokrasi kita, selalu ingin ramai, bukan bagaimana membangun, menciptakan dan menginspirasi. Adu gagasan dan trackrecord, membuat kampanye yang asyik serta menyenangkan. Tapi bagaimana mau ada gagasan? Kan di Babel saja ada 3 wilayah yang lawannya adalah kotak kosong? Entahlah...

Intinya, kala musim Pilkada adalah musim banyak komentator tak jelas cuap-cuap di medsos. Benarlah apa yang pernah diungkapkan oleh Budayawan Cak Nun: “Media sosial adalah wadah paling tepat bagi para pengecut mengeluarkan uneg-unegnya”. Begitupula yang terjadi kala kita membuka berbagai  media sosial, perang kata antar timses dan pendukung, menjadi sesuatu yang unik untuk dipelajari, betapa kelas demokrasi kita di negeri ini masih sangat berkualitas rendah. 

Tapi ada baiknya, dengan musim Pilkada seperti ini, ditengah ekonomi yang rada susah, ada yang ketiban rezeki. Misalnya tukang cetak baliho, spanduk dan kaos. Timses dapat gaji perbulan sampai selesai Pilkada. Yang punya massa maupun yan ngerasa punya massa bisa kesana kemari menjual massa demi mendapatkan “sesuatu” dari para calon. Ini sudah lumrah dan sangat sering terjadi dan tak akan pernah usai sampai kapanpun. Mobil rental menjadi laris, percetakan meraup untung, tukang kayu spesialis baliho dapat rezeki, setiap keluarga dilibatkan menjadi “Panitia Pemilu” atau “Panitia Pesta Pilkada”. Bahkan di kampung saya, lucunya ada orang yang menjadikan timses sebagai pekerjaan tetap atau mata pencaharian, sehingga setiap Pilkada atau Pemilu ia selalu ada. Siapapun yang mengajak untuk menjadi Timses ia selalu siap, yang penting dibayar dengan uang tunai, begitulah slogannya. Selama menjadi timses, kemana-mana membawa kendaraan, tapi hanya bertahan paling lama 2 sampai 3 bulan, setelah selesai tugas di “medan perang”, maka selesai sudah rental kendaraan tersebut, begitupula dengan bayaran perbulan yang didapatkan pun dihentikan. Selanjutnya ia menunggu kembali ada Pilkada, Pilgub dan Pemilu berikutnya. Atau kalau di perkotaan, maka ia mengejar proyek, setidaknya mengurus izin pertambangan. Begitulah putaran kehidupan demokrasi kelas bawah.

Demokrasi Sembako dan Rupiah

ADA kawan iseng bertanya: 

“Bung, bangsa kita ini menganut demokrasi apa ya?” 

Tag
Share