Tekangak
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
RAKYAT berdaulat dalam memilih. Ternyata ada yang “tekangak” melihat hasilnya. Itulah demokrasi dan kehidupan bukan soal Pilkada saja, masih panjang perjalanan untuk kebermanfaatan pada negeri.
---------------------
PASCA Pilkada Serentak 2024, banyak telpon masuk ke HP saya, selain diskusi soal hasil Pilkada, tapi ternyata ada juga masukan dari kawan-kawan kepolisian, sahabat dan bahkan CEO harian Babel Pos, Syahril Sahidir agar saya menulis di media jangan terlalu keras, karena masih banyak yang lagi “gelugud” bahkan “tekangak” akibat kekalahan. Ditambah banyak calon pertahana yang tumbang dalam kompetisi kali ini.
“Tok, tulis yang bijak bae aok, kesian pejabat bertumbangan nih...” tiba-tiba WA masuk ke HP saya.
Maklumlah, kebiasaan saya menulis keras dan sering dianggap memviralkan istilah-istilah yang menyakitkan bagi yang merasa. Padahal yang saya gunakan itu bahasa sehari-hari dari tutur lisan para orangtua kita dulu.
Ya sudahlah, saya menulis bijak ya... tapi masalahnya saya bukan orang yang bijak dan alim, sehingga tak kuasa membijak-bijakkan sesuatu. Jadi jangan menggerutu kalau tidak terlalu bijak. “Menulis yang halus-halus saja, Tok. Soalnya kondisi sekarang lagi banyak yang hatinya pedih....” ujar seorang sahabat yang berprofesi sebagai Polisi.
“Mana bisa, Bang. Saya ini makhluk kasar bukan makhluk halus” ujar saya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Fenomena “Tekangak” Pilkada 2024 di Babel
Walau belum ada pengumuman resmi KPU, namun sudah dapat diprediksi melalui Quick Count hasil Pilkada Serentak 2024 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Banyak calon pertahana bertumbangan, bahkan termasuk Pertahana Calon Gubernur & Wakil Gubernur. Ada yang sudah memprediksi demikian, tapi tak sedikit yang “tekangak” alias kaget kuadrat sehingga mulut ternganga tanpa suara alias “tebudu” ketika mendapatkan hasil yang tidak sesuai prediksi. Bahkan ada yang malam sebelum pencoblosan sudah merilis hasil survey Paslon Tunggal di Kota Pangkalpinang 84,7%. Namun setelah pencoblosan, ternyata setengah dari angka tersebut tidak didapatkan dan mengalami kekalahan yang membuat “tekangak”.
Perilaku Paslon dan Timses yang lebih terlihat memukul ketimbang merangkul, mengejek daripada mengajak, bersentiment daripada berargument menunjukkan kelas betapa cara berdemokrasi para Timses masih ditingkat rendah. Padahal demokrasi ceria itu mampu merangkul semua elemen masyarakat, memanfaatkan orang-orang terdekat dan memakai kemampuan orang-orang jauh, serta hindari kepedean tinggi bahwa diri sudah pasti terpilih. Istilah-istilah “tiduk bae lah, bangun-bangun dilantik” adalah istilah yang akan menciptakan diri “dak pacak tiduk” atau bisa jadi “tiduk dak tebangun agik”. Mengapa demikian, hasil dari kedaulatan rakyat dalam memilih akhirnya membuat “tekangak” Paslon yang kalah dan Timsesnya.
Selanjutnya, Timses bahkan Paslon yang bermain media sosial nampaknya masih sangat perlu dilatih dan diberikan pencerahan agar bijak bermedia sosial. Sebab, keseringan men-share berita-berita Paslon, memuji Paslon secara berlebihan, memperolok tim lain, terlebih menghujat dan mencaci tentunya bukanlah karakter sehat dalam demokrasi. Hal ini yang membuat masyarakat pemilih yang selama ini diam akhirnya bertindak untuk membuktikan kedaulatan mereka di balik TPS. “Langok ningok gaya Tim e” atau ada juga “Ko dak kawa ningok gaya urang-urang dekat e” kalimat ini seringkali saya dengar. Berulangkali saya ungkapkan baik melalui tulisan maupun secara lisan (langsung), bahwa ada 3 tingkatan perilaku atau sikap ditengah masyarakat Bangka ketika ia bosan atau kurang sreg dengan seseorang atau kelompok. Tingkat Pertama, “Langok”. Tingkatan Kedua, “Lungoi” dan Tingkatan Ketiga, “Melengos”.