Salah Hormat

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Ketiga, kepada isteri juga saya ceritakan tentang seorang tokoh Sufi yang hidup pada abad ke 17, Nasruddin Hoja. Suatu hari Nasruddin Hoja diundang sang raja ke Istana untuk jamuan makan malam. Datanglah ia hanya dengan busana butut sebagaimana busana yang ia gunakan dalam keseharian. Sesampai di Istana ia dilarang masuk oleh para penjaga bahkan para petinggi Istana tak menghiraukan hal tersebut, padahal ia adalah tokoh sufi terkemuka di zamannya. Nasruddin Hoja dilarang mengikuti jamuan makan malam bersama sang raja karena busananya dianggap tidak pantas dan tidak menunjukkan ia adalah seorang tokoh terkemuka.

Akhirnya Nasruddin Hoja pun pulang dan menggantikan busana yang ia kenakakan tersebut dengan busana yang paling mewah yang ia miliki. Lantas dengan langkah tergesa-gesa ia kembali lagi ke Istana dan disambut baik oleh para penjaga beserta para petinggi Istana. Karena ketokohannya, Nasruddin Hoja pun duduk berdampingan dengan sang raja untuk menikmati jamuan makan malam. 

Saat jamuan berlangsung dan seluruh tamu undangan dipersilahkan untuk menikmati makanan yang ada, Nasruddin Hoja membuka seluruh busana yang ia gunakan. Lantas satu persatu makanan yang ada ia ambil dan ia letakkan diatas busananya sambil berkata: “Ini pakaian, makanlah sepuasmu. Karena kamu yang dihormati oleh orang-orang, bukan saya. Sehingga kamu lebih pantas menikmati makanan ini”.

Melihat ulah Nasruddin Hoja yang tak terduga itu, semua undangan termasuk sang raja menjadi heran. Lantas sang raja berkata: “Wahai Nasaruddin, apa yang telah engkau lakukan??”. Kepada sang raja, Nasruddin Hoja berkata dan menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya saat akan masuk istana. “Maafkan raja, saya bisa masuk ke Istana raja karena pakaian ini. sebelumnya saya tidak bisa masuk dengan pakaian saya sebelumnya. Jadi pakaian ini lebih dihormati daripada diri saya sendiri. Jadi ia lebih berhak menikmati makanan ini daripada diri saya”. Akhirnya terbukalah mata hati sang Raja dan para penjaga beserta petinggi Istana pun mendapat teguran keras dari sang penguasa (raja).

***

BEBERAPA kejadian ini, masih terus terjadi hingga saat ini bahkan lebih parahnya terjadi dalam dunia akademik. Melihat kesuksesan seseorang bukan dari pemikiran dan karyanya, tapi dari apa yang ia miliki seperti kendaraan mewah dan rumah elite. Pemikiran keliru ini akhirnya menimbulkan perilaku keliru dan perilaku kelirulah menimbulkan penghormatan keliru sekaligus sinisme keliru terhadap seseorang. 

Berapa banyak kita saksikan orang bejat dicium tangannya, dielu-elukan, diidolakan, diagung-agungkan bahkan bodohnya kehidupan dirinya dan keluarganya digantungkan kepada orang tersebut. Berapa banyak kita saksikan orang salah meletakkan jidatnya untuk bersujud dan salah meletakkan kepalanya untuk merunduk. 

Pada titik akhirnya, perilaku salah seperti ini akan melahirkan perilaku salah menempatkan mana pahlawan mana pengkhianat bajingan, mana orang terhormat dan mana orang bejat, mana abdi negara mana beban negara, mana pengabdian mana penguasaan, mana penegak hukum mana penguasa hukum dan penjual hukum, mana yang terhormat dan mana yang terlaknat, mana yang sedang hebat dan mana yang sedang tersesat, mana pengamat mana penjilat, mana sang pendobrak mana sang perusak,  mana intelektual mana pengobral, mana pelopor mana pengekor, mana hasil kerja keras mana hasil kerja memeras, dan sebagainya.

Itulah wajah kita semua hari ini. Mendekap dalam kekeliruan yang sedikit demi sedikit kita hilangkan rasa bersalah dalam kekeliruan tersebut sehingga seperti sebuah kebiasaan dan kebiasaan itu menjadi sebuah kebenaran. Maklumlah, sekarang zamannya orang-orang hobi baca berita hanya judulnya, lalu berkomentar bak pahlawan besar. Ah, sudahlah.....

Salam keliru! (*)

    

    

 

 

 

Tag
Share