Salah Hormat

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

 

Bukan hanya “salah alamat” tapi kita juga sering “salah hormat”. 

Kita sering keliru tangan siapa yang harus dicium dan dimana 

meletakkan jidat untuk bersujud dan kepala untuk merunduk.

-----------

SUATU hari, isteri saya bercerita tentang pengalamannya menjadi salah satu peserta dalam sebuah acara yang narasumbernya adalah seorang Doktor. Karena saya juga sering menjadi pembicara dalam berbagai kegiatan, isteri pun menceritakan pengalamannya ini, sebab ia pasti merasa saya paling sering mengalami  hal yang sama. Sang Doktor datang hanya dengan menggunakan sepeda motor butut. Para peserta dan panitia menunggu di luar dan melihat langsung kendaraan yang digunakan oleh sang Doktor. 

“Semenjak kedatangan sampai beliau pulang, sepertinya sang Doktor tak dihargai, malah dipandang sinis. Selidik punya selidik ternyata panitia dan peserta meremehkan sang Doktor hanya karena ia menggunakan sepeda motor butut” ujar isteriku sambil geleng-geleng kepala seraya meminta pendapat kepada saya mengenai perilaku sosial seperti ini.

Kepada isteri saya ceritakan beberapa pengalaman saya saat diundang ngisi “ceramah motivasi” di sekolah, pesantren atau di kampus, baik di Bangka Belitung maupun di Pulau Jawa. Selanjutnya saya juga ceritakan kepada anak mertua ini tiga kejadian nyata. Pertama, seorang Dosen di sebuah Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia pernah bercerita bahwa suatu hari ia pernah hampir mendapatkan sebuah tender besar proyek pendidikan untuk sekolah terkemuka di Jakarta. Sang Dosen bela-belain pinjam mobil kawannya untuk datang ke sekolah tersebut. Melihat kendaraan mewah yang ia gunakan, pihak sekolah dan Kepala Sekolah sepertinya takjub dan setuju untuk melakukan kerjasama. Sehingga disepakati 4 hari kedepan penandatanganan kontrak kerjasama. 

Pada hari penandatanganan, kawan sang Dosen yang punya mobil sedang berada diluar kota. Jadilah Sang Dosen ini kelabakan. Ia pun kesana kemari mencari mobil rental yang sama persis seperti kepunyaan sang kawan, tapi tak pernah ada. Akhirnya ia pun datang dengan kendaraan yang ia miliki, yakni sepeda motor butut. 

Sesampai di sekolah, anehnya pihak sekolah dan Kepala Sekolah tidak menyambut kehadirannya seperti saat ia membawa mobil mewah 4 hari yang lalu. Sang Dosen disuruh menunggu lama sekali bahkan dicuekin. Kemudian seorang staf sekolah keluar dan menyampaikan permohonan maaf Kepala Sekolah sedang sibuk dan tidak bisa menemuinya. Draf kerjasama akhirnya batal tanpa ada pembicaraan lanjutan. Sang Dosen akhirnya menyadari bahwa kegagalan ia mendapatkan proyek tersebut diakibatkan ia dianggap tidak pantas karena dimata sekolah kurang bonafid dengan sepeda butut yang ia gunakan. 

Kedua, budayawan kondang yang digelari kiyai mbeling Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menceritakan bagaimana ia tak begitu dihargai akibat kecuekannya dalam berbusana dalam berbagai kegiatan yang mengundang dirinya untuk menjadi pembicara yang tak berbeda dengan busana kesehariannya dimana pun ia berada. 

Cak Nun yang sudah keliling berbagai negara sebagai pembicara dalam berbagai forum dan show Kiyai Kanjengnya sebagai seniman ternyata tak begitu dihargai di negeri sendiri. “Sandal jepit dan kopiah butut saya sudah masuk berbagai kampus dalam seminar di berbagai negara. Orang disana tidak melihat apalagi menanyakan busana apa yang kau pakai, tapi apa yang akan kau sampaikan. Itulah bedanya dengan kita di Indonesia” kurang lebih begitu yang pernah diungkapkan oleh Cak Nun. 

Tag
Share