CERPEN MARHAEN WIJAYANTO: Sambal Terasi
ilutrasi-babelpos-
“Kalau tidak begini, dari mana kami membayar uang seragam masuk sekolah yang selangit? Memangnya pemerintah bisa beri duit berapa? Dari hasil selingkuh inilah, kami sekeluarga bisa hidup!” Mang Lapan memberi keterangan pada petugas.
Si gadis manis anaknya ditangkap karena ketahuan menjadi selingkuhan konglomerat. Dari guru mengaji menjadi wanita murahan. Semua karena harga timah yang sedang sulit.
“Jika itu bisa menghasilkan uang, maka lakukanlah.” Ayat tak tertulis akibat dari timah yang sedang sepi. Anak mengaji sekarang jadi pencuri. Mereka jadi tameng kriminalisasi jaringan garong karena anak di bawah umur tak tersentuh hukum. Sedang guru mengajinya tak lagi bisa memberi nasihat karena sering dijemput lelaki.
“Yang pertama adalah uang seragam bisa terbeli, yang kedua anak saya bisa masuk sekolah favorit, dan yang ketiga tentu kehidupan ekonomi kami terjamin.”
Ucapan Mang Lapan memberi restu pada anak gadisnya menjadi selingkuhan konglomerat. Dari guru mengaji hingga pelacur. Di masa timah yang sulit, harga diri pun jadi ikut murah, semurah harga timah yang ada di pasaran. Mang Lapan masih tersenyum renyah dengan para pengutang di warung kecilnya. Tak ada rasa malu seperti saat harga timah naik.
BACA JUGA:Arah Artifisial Intellegence Kesastraan yang Bukan Kaleng-Kaleng!
Mang Lapan menghadapi pandangan baru, perselingkuhan menjadi satu cara untuk mencari nafkah. Semua karena ekonomi yang lesu. Timah yang sulit benar-benar memutarbalikkan otak seseorang. Iman hanya berujud kertas tipis. Tak mampu lagi ditulisi petuah baik. Seperti tisu yang sobek ketika tersentuh pena. Tak lagi sebentuk kertas tebal, wangi, dan bisa dibaca sampai kapan pun.
Di masa timah sepi banyak timbul pranata baru. Membuat iman seperti sambal terasi, terasa pedas sebentar lalu hambar tak terberi.
Iman seseorang sekarang mirip jalanan rusak di kampung kami. Katanya belum bisa diperbaiki. Sehingga kami berupaya menambal dengan tanah alakadarnya.