Bendera dalam Secangkir Kopi dan Kue
Marhaen Wijayanto.-Dok Pribadi-
Cerpen Marhaen Wijayanto
Kakek masih berbicara dengan gawai di yang tertempel di telinga. Sekilas saya mendengar kabar bahwa ada perdana menteri akan mencarikan tempat tinggal warga Palestina ke negara yang mau menaungi mereka. Setelahnya memang tampak koran yang kakek baca tertera foto seorang perdana menteri yang sedang menyampaikan gagasannya pada Presiden Amerika, Donald Trump. Perdana menteri itu ingin menempatkan warga Palestina ke sebuah negara yang mampu menampung, katanya supaya tidak terjadi nasib seperti sekarang ini.
Kembali kakek meraih telepon genggam itu. Tampak beliau sibuk menerima telepon dari para jurnalis yang meminta pandangan kakek melalui esai dan artikel. Iya! kakek memang selalu mampu memotivasi seseorang lewat pandangan dan tulisannya yang berpengaruh. Salah satu hal yang membuat beliau tetap waskita meski usianya tak lagi muda. Hal itu terjadi karena sejak muda selalu akrab dengan membaca, berdiskusi, dan tentu saja menulis. Ketiga hal itulah yang bisa membuat otak terhindar dari kepikunan dan yang pasti adalah kebijaksanaan dalam melihat hidup.
Kebiasaan kekek membaca karya sastra sejak usia muda juga memengaruhi sudut pandang dalam memandang hidup. Kata kakek, karya sastra dapat menjadikan diri kita memiliki hati lembut. Lewat membaca bacaan sastra, kita akan bisa belajar memandang makna hidup.
“ Lebih berharga pengalaman dari membaca, daripada tempurung kura-kura.”
Membaca mampu membuat kita memiliki kebijaksanaan. Membuat lebih berharga daripada kekuatan fisik. Semakin tinggi kita mendaki gunung, pandangan semakin luas. Banyak membaca sampai usia lanjut bukan kelemahan, melainkan kesempatan untuk melihat dunia dengan lebih jelas dan bijak.
Sejenak kakek memandang ke arah bantaran persawahan yang ada di halaman rumah dengan padi hijau amat luas. Lalu saya menemani kakek menghirup udara segar yang berasal dari puluhan hektar sawah di depan rumah kami itu. Ruang baca yang sekarang kita pindah ke balkon atas halaman rumah membuat siapapun yang ada di sana akan semakin merasakan sejuk.
“Ah, untuk apa mengibar bendera, Pak John! Toh hidup saya juga semakin hari semakin sarē! ” Mang Arpan seperti biasa mengeluh karena daganganya sepi. Lelaki usia empat puluhan itu menuang secangkir kopi, lalu menghidangkan beberapa kuenya yang tak laku pada kami. Seperti biasa, kakeklah yang jadi penasihat spiritual, agar dia semangat menjalani hidup.