Bendera dalam Secangkir Kopi dan Kue
Marhaen Wijayanto.-Dok Pribadi-
“Kita bukan hanya merayakan, tetapi menghargai dan ikut menghormati. Zaman dulu tak ada udara bebas semacam sekarang.”
Lalu Pak Arpan mengeluarkan beberapa lembar uang receh dan kertas dua ribuan. Beberapa lalat yang lewat seperti menyindir bahwa itu uang yang tak cukup untuk menuruti gaya hidup tetangga di sebelah rumahnya.
“Iya, kamu mesti tunjukkan, upacara tujuh belasan itu bukan hanya untuk para pejabat berdasi atau politikus sukses dan yang pasti . . . “
“Ayu Tingting! Hahaha!” Mang Arpan girang saat tiba-tiba teve di balkon rumah kami itu menayangkan penyanyi dangdut mendendangkan lagu Alamat Palsu. Katanya biduanita idola Mang Lapan sukses dengan konser tunggal perdananya.
“Waahhh, maksimal!! Hahaha”
Saya yang anak kecil kurang paham dengan maksud kata “maksimal,” tapi melihat ekspresi Mang Arpan jelaslah beliau sangat bahagia dengan tarian dangdut biduanita di layar teve itu. Sementara kekek hanya mengamini saja kebahagiaan itu.
Paling tidak, setelah ini Mang Arpan kembali ke rumahnya dengan pandangan berbeda. Ia jadi tahu cara memandang hidup. Dengan rokoknya yang semakin memendek, ia mengambil satu batang lagi. Ayah yang melihat Mang Arpan mengambil rokoknya lalu memberikan satu bungkus besar lagi, bahkan itu bisa jadi persediaan rokok selama sebulan. Kakek tersenyum.