Bendera dalam Secangkir Kopi dan Kue
Marhaen Wijayanto.-Dok Pribadi-
“Tapi hidup saya selalu kekurangan, Pak! Jualan lakunya sedikit!” Mang Arpan menghirup kopi terakhir hingga dangkal dan hisapan di ujung rokoknya hanya tersisa debu lalu ia menekuknya di asbak.
“Sudahlah, Pan. Mensyukuri yang sedikit, Tuhan akan menambah yang lebih banyak. Hati yang penuh syukur akan mengundang kebahagiaan. Hendaknya kita menghargai hal-hal kecil di sekitar kita. Syukur membawa nikmat, kufur membawa laknat.”
“Dalam persahabatan, yang utama bukanlah keindahan kata-kata, tapi harmoni saat bersama. Seperti kopi, meski pahit, terasa nikmat bila dinikmati bersama teman. Hidup merdeka itu lebih mulia, daripada hidup dijajah namun serba ada. Dibanding apa yang terjadi pada saudara kita di Palestina, tampaknya secangkir kopi dan kue ini adalah kemerdekaan yang tanpa kita sadari dengan mudah bisa dinikmati. ”**
Marhaen Wijayanto, kelahiran Boyolali, Jawa Tengah. Alumni Universitas PGRI Semarang telah menerbitkan dwilogi, Mencari Jejak Sang Depati, Segenggam Puisi dan Sajak Hujan di Awal Desember. Kumpulan cerpen lainnya adalah Buku Tanpa Aksara. Ia mengemban tugas sebagai Kepala SD Negeri 7 Simpang Teritip, Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.