GEDUNG NASIONAL TOBOALI (Bagian Tiga)

Elvian--
Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
DALAM catatan sejarah pergerakan mempertahankan kemerdekaan di Bangka Belitung, semangat nyata Republiken (cinta kepada republik Indonesia) sangat kental pada rakyat Bangka termasuk pada rakyat di Toboali, walaupun Kota Toboali telah dikuasai kembali oleh Belanda sejak Tanggal 19 Februari 1946.
----------------------
DALAM upaya Pemerintah Belanda membentuk Negara Indonesia Serikat dengan cara mendirikan beberapa negara bagian melalui berbagai pelaksanaan konferensi federal, termasuk upaya mendirikan Negara Bangka Belitung dan Riau melalui Konferensi Malino, Konferensi Pangkalpinang dan Konferensi Denpasar serta Konferensi Bandung. Semangat rakyat Bangka umumnya dan rakyat di Toboali khususnya, tetap ingin agar Bangka bersama dengan Pemerintah Republik Indonesia. Sikap nasionalisme dan cinta republik ditunjukkan oleh sikap wakil atau utusan dari Bangka, khususnya Saleh Achmad, yang menyatakan bahwa, Bangka merupakan wilayah Republik Indonesia (Sitrap Nomor 13 tanggal 26 Maret 1949). Dalam perkembangan selanjutnya, Saleh Achmad kemudian diangkat menjadi kepala pemerintahan di Toboali dan kemudian menjadi Sekretaris Dewan Bangka bersama Ketua Dewan Bangka Masyarif Datok Bendahara Lelo yang dilantik pada Tanggal 11 November 1947.
Semangat republiken yang ditandai dengan semangat nasionalisme dan patriotisme rakyat Toboali tidak saja pada bidang politik tapi tampak juga dibidang pendidikan dan keagamaan. Pada bulan Februari 1949, atas inisiatif seorang Guru bernama A. Gani dilakukan penggalangan dana untuk pendirian Sekolah Arab “Sekolah Al Khoiriyah” dengan mewajibkan siswa-siswinya untuk menyumbang f. 0,10/bulan. Selanjutnya Pada bulan Maret 1949, dalam Laporan Residen Bangka Belitung Nomor 166 tanggal 27 Maret 1949, seorang ulama bernama Sayyid Husin Sahab mengunjungi Kota Toboali dan menetap selama 4 minggu. Beliau melakukan kegiatan dakwah dan berdagang, tidak melakukan aktivitas politik. Semangat nasionalisme dan patriotisme semakin memuncak pada rakyat Toboali, apalagi ketika mendengar kabar akan berkunjungnya Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Kota Toboali dari Kota Pangkalpinang, setelah turun dari tempat pengasingannya di Menumbing Mentok. Rencana kunjungan Mohammad Hatta disambut masyarakat Toboali dengan membentuk panitia penyambutan atas inisiatif Alwi Ali, Sekretaris II SENI (Serikat Nasional Indonesia) dan Ali Nurdin, Sekretaris I SENI (Sitrap Nomor 1 tanggal 22 Januari 1949). Ketua panitia penyambutan dipegang oleh A. Djailani Akin dan telah bertemu langsung dengan Mohammad Hatta di Pangkalpinang. Kehadiran para pemimpin Republik Indonesia di Pulau Bangka dan khususnya di Kota Toboali mendorong masyarakat lebih giat kagi berpolitik dan berorganisasi. Salah satu organisasi yang kemudian berkembang pesat adalah SENI yang dipimpin Ishak Lazim dari Sungailiat. Dalam Laporan Residen Bangka Belitung Nomor 166 tanggal 27 Maret 1949, dikatakan bahwa, setelah pendirian SENI Cabang Pangkalpinang dengan ketua R. Hundani, diikuti dengan pendirian cabang-cabang SENI baru se-Pulau Bangka, tidak terkecuali di Kota Toboali, pendirian SENI dilakukan pada bulan Maret 1949, dengan ketua A. Djailani Akin.
Antusias masyarakat Toboali berorganisasi dan berpolitik semakin meningkat pasca kedatangan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 2 Februari 1949 dan kemudian dilanjutkan dengan kedatangan Presiden Sukarno pada tanggal 30 Maret 1949, walaupun dalam suasana Kota Toboali dan Pulau Bangka masih berada dalam kekuasaan Belanda setelah Agresi Militer Belanda Kedua. Pada awal bulan April 1949, atas inisiatif A. Gani, di Kota Toboali didirikan perkumpulan Gaboengan Sosial Rakjat Indoenesia (GASRI) sebagai wadah bersama membangun kerjasama antar organisasi yakni: Sinar Bulan Baroo/SBB (organisasi olahraga), Sekolah Arab Al Khoiriyah, Orkes Pengibur (grup musik), Taman Pembatjaan Umum dan Persatuan Wanita Toboali/PERWANTO (organisasi perempuan). Dalam Laporan Residen Bangka Belitung Nomor 209 tanggal 11 April 1949, Pengurus GASRI dipimpin oleh A. Djalaini Akin (Ketua SENI Toboali) dan wakil ketua A. Gani. Perkembangan dan minat berorganisasi masyarakat Toboali tidak memudar bahkan berlanjut dengan pendirian Perkumpulan Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) Cabang Toboali dengan ketua Tusin Jasin pada bulan November 1949. Organisasi IPI bertujuan memajukan musik dan agama (Laporan Residen Bangka Belitung Nomor 446 tanggal 21 November 1949).
Berbeda dengan masyarakat Kota Toboali pada umumnya, masyarakat Tionghoa di Toboali masih menunggu dan melihat perkembangan politik, khususnya situasi politik di daratan China dan Indonesia pada umumnya. Peperangan antara Kuomintang (Partai Nasionalis Tiongkok) pimpinan Sun Yat Sen melawan Partai Komunis Tiongkok di bawah pimpinan Mao Zedong berakhir dengan kemenangan komunis yang ditandai dengan berdirinya Republik Rakyat China (RRC) pada tanggal 1 Oktober 1949. Sementara daya tawar Republik Indonesia dalam diplomasi internasional semakin meningkat dengan adanya dukungan dunia internasional, sementara Pemerintah Belanda mulai kehilangan dukungan akibat beberapa kali melakukan kesalahan diplomasi dan kesalahan penggunaan dana Marshall Plan sebagai program bantuan ekonomi Amerika Serikat kepada negara-negara Eropa setelah Perang Dunia II. Program ini bertujuan untuk membangun kembali ekonomi dan semangat Eropa Barat yang justru disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda untuk pelaksanaan Agresi Militer terhadap Indonesia. Arah kebijakan politik masyarakat Tionghoa khususnya di Pulau Bangka mulai berubah pasca kesepakatan Roem-Royen, pada tanggal 7 Mei 1949. Dalam Laporan Residen Bangka Belitung Nomor 288, tanggal 24 Mei 1949, Pengurus Persatuan Tionghoa mengadakan rapat di Toboali membahas perkembangan politik “Penyerahan”, dimana orang Indonesia semakin yakin akan meraih kemenangan seiring kesepakatan kembalinya pemimpin Republik Indonesia yang diasingkan di Bangka ke Ibukota Yogyakarta. Atas usul Cochran, kami berangkat dari Bangka kembali ke Yogya tanggal 6 Juli 1949 kata Bung Hatta dalam buku yang ia tulis yang berjudul: Untuk Negeriku: sebuah Otobiografi.
Dalam Buku: Yogyakarta-Bangka Menegakkan Kedaulatan Negara, 1948-1949 karya Akhmad Elvian dan Ali Usman, diterbitkan Dinas Kebudayaan DIY, 2023, hal. 163, dinyatakan bahwa, untuk mendukung kembalinya pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, diadakan penggalangan dana mulai bulan Mei 1949, dengan pembentukan panitia “Fonds Penjokong Pembangunan Djogjakarta” yang terdiri dari Persatuan Wanita Indonesia (PERWANI), Persatuan Dagang Indonesia (PERDI), Serikat Nasional Indonesia (SENI), Serikat Kaum Buruh (SKB) dan Serikat Rakyat Indonesia (SERI). Panitia ini dipimpin oleh Depati Ali Asik sebagai ketua dan Daniali Abdullah (Wakil Ketua Serikat Kaum Buruh (SKB) dan redaktur “Menara Buruh”). Sebagai pembina dan penasehat dipercayakan kepada Masyarif Datok Lelo Bendaharo (Ketua Dewan Bangka) dan Demang Sidi Minik (Kepala Pemerintahan Pangkalpinang). Panitia menargetkan akan mengumpulkan f. 200.000 dan akan diserahkan langsung kepada Presiden Republik Indonesia Sukarno. Untuk pengumpulan dana dibentuklah panitia lokal di seluruh Pulau Bangka, termasuk di Kota Toboali.
Metode pengumpulan dana ada 4 cara, yakni sumbangan perorangan, penjualan barang, pertunjukan bioskop - pertandingan olahraga dan pertunjukan keroncong di pasar. Pencatatan sumbangan para donatur dimulai dari Toboali dengan nomor 1-30, dan berhasil mengumpulkan dana sebesar 6.096, 75 gulden. Cara kedua dengan pengumpulan dana melalui penjualan. Ada 2 jenis penjualan yakni penjualan bunga dan dasi kupu-kupu warna merah putih dan berhasil mengumpulkan dana sebesar 586,30 gulden. Salah satu cara menarik pengumpulan dana melalui pengumpulan massa dengan mengadakan pertandingan olahraga berhasil mengumpulkan dana sebesar 713,50 gulden. Kemungkinan besar olahraga yang ditandingkan adalah sepak bola, seperti yang dilakukan di Pangkalpinang pada akhir bulan Mei 1949. Pada hari saat pertandingan sepakbola tersebut Ketua Dewan Bangka Masyarif Datok Bendahara Lelo meninggal dunia tanggal 28 Mei 1949. Penggalangan dana dilakukan juga melalui pemutaran film di Bioskop dan berhasil mengumpulkan dana sebesar 94,05 gulden. Metode ke-4 dalam pengumpulan dana melalui pertunjukan musik keroncong di pasar-pasar dan berhasil menggalang dana sebesar 374 gulden. Total dana yang terkumpul di Kota Toboali sebesar f.7864.60 setelah dikurangi pengeluaran sebesar f. 265, sehingga dana yang diserahkan ke panitia pusat di Kota Pangkalpinang sebesar f. 7.599.60. Sumbangan rakyat Toboali tersebut mencapai 8,42 % dari total sumbangan sebesar f. 90.170.18, yang diserahkan kepada Presiden Republik Indonesia Sukarno pada tanggal 5 Juli 1949 di Balai Gemeente Pangkalpinang (sekarang jalan Balai).
Dalam Laporan Residen Bangka Belitung Nomor 346 tanggal 11 Juli 1949 dinyatakan bahwa, setelah menyerahkan sumbangan tersebut, Panitia Fonds Penjokong Pembangunan Djogjakarta berubah nama menjadi Panitia Penjokong Republik Indonesia (PPRI) dengan target membangun Gedung Nasional dan Sekolah Nasional di Bangka, termasuk rencananya membangun di Kota Toboali. Panitia ini akan dipimpin oleh Abdul Samad, Daniali Abdullah dan Jusuf Rasidi. Hanya saja kita belum menemukan data terkait pengumpulan dana yang dilakukan Panitia Penjokong Republik Indonesia ini, termasuk di Kota Toboali yang digunakan untuk membangun Gedung Nasional Toboali.
Pasca kembalinya para pemimpin Republik Indonesia ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949, kemudian dilanjutkan dengan Perundingan Inter Indonesia I di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 dan Perundingan Inter Indonesia II di Jakarta pada tanggal 31 Juli-3 Agustus 1949, semangat nasionalisme rakyat semakin menguat dan terbuka. Hanya saja masih ada pelarangan pengibaran Bendara Merah Putih secara terang-terangan. Dalam pertemuan SENI Pusat, ketua SENI Toboali A. Djailani Akin mengusulkan mosi pencabutan pelarangan penggunaan warna merah putih di muka umum dan mendapat persetujuan seluruh pengurus SENI untuk mengeluarkan mosi tersebut. Mosi ini ditandatangani oleh Ketua A. Samad dan Sekretaris Romawi Latif. Sejak itulah bendera Merah Putih berkibar di seluruh pelosok pulau Bangka. Tidak ada kekhawatiran dan bermasalah dengan pemerintah dan militer Belanda. Termasuk penggunaan simbol-simbol yang berwarna merah putih seperti dasi, pita, kembang dan dekorasi ruangan (Bersambung/***).