CERPEN MARHAEM WIJAYANTO: Perayaan Pilkada di Hati Kakak
ilustrasi literasi--
Baru kali ini sawah di depan rumah beserta pemandangan eloknya menghadirkan polemik. Tidak seperti biasanya yang selalu jadi sumber inspirasi, pertanyaan dari kakek membuat kakak menuda menghirup kopi.
“Kamu harus tahu, petani sudah jadi penyangga kehidupan negara kita berpuluh-puluh tahun.”
“Entahlah, Kek. Saya mau kerja di mana. Lamaran dengan gaji layak semakin sulit, tapi kalau kerja ojol, jaga warung, atau depot minum masih mudah.”
“Ya kamu minta kerja ke. . . . .”
Kakek ingin berkata, “Mintalah ke kotak kosong sana!” tapi beliau khawatir, kalimat sarkas itu akan menyebabkan perdebatan-perdebatan panjang dengan kakak. Kata orang, pilihan saat pilkada sangat mirip dengan jatuh cinta yang buta. Banyak kawan jadi lawan gara-gara pilihan politik.
Lalu kakak berkata, “Nah, yang kakek bilang itu bukti pemerintah kurang peduli dengan teknologi pengolahan hasil pangan. Sekarang orang-orang kecil di pasar atau tukang-tukang ojek ingin pemimpin yang berpikikir punya ide seperti yang kakek utarakan tadi. Mereka ingin negara ini berubah!”
Kakek kembali terdiam. Dia masih dongkol karena manusia zaman sekarang sudah kalah dengan sesuatu yang tidak ada. Beliau memandang koran nasional, lalu pura-pura membaca tragedi berdarah di palestina, padahal wajah kakek memerah karena tersinggung omongan kakak yang masih membahas kekalahan calon petahana.