CERPEN MARHAEM WIJAYANTO: Perayaan Pilkada di Hati Kakak

ilustrasi literasi--

SEDARI pagi, kakak tak henti mengaduk-aduk gelas berisi kopi hitam. Lalu kopi itu dihirup sembari berharap telepon di gawainya berbunyi karena sebuah kabar baik berupa panggilan bekerja dari perusahaan yang ia kirimi CV.  Ia duduk di balkon sambil menghitung jumlah roda dua hingga empat yang melintasi depan rumah. Entah berapa jumlah kendaraan yang lewat, mungkin kakak tahu. 

 

Nasihat kakek sedari  kecil, ketika lulus sekolah nanti, kakak akan menghadapi kenyataan dunia ini berubah menjadi sepi dan sunyi. Yang  bisa dilakukan hanya meratapi nasib menunggu panggilan kerja dari bank besar atau perusahaan asing bergaji dolar.

 

 Tapi hari itu kakak sangat berbeda. Ia memotong rambutnya hingga habis alias gundul. Katanya jagoan kotak kosongnya menang mutlak di kota. Kakak adalah salah satu orang yang tak terlalu percaya dengan omongan orang-orang politik. Statusnya sebagai pengangguran adalah bukti yang diucapkan di kampanye adalah bohong. 

 

Sembari memilih model jaket ojol yang akan dipakainya, ia tersenyum bangga dengan pekerjaan barunya. Kata kakak serba teknologi. Paling tidak pekerjaan sebagai ojol lebih punya gengsi dibanding paman-paman kotor pemetik padi di depan rumah kami. Menurut kakak, meski ojol, pekerjaan  dengan aplikasi dirasa modern dibandingkan dengan traktor sawah yang tanpa aplikasi. 

 

Kebetulan rumah kami di pinggir sawah. Di sana gunung tinggi menghijau tampak tersorot sore, kemudian di pagi harinya gunung itu menghalangi sinar yang menyorot ke arah barat. Sesekali saya memandangi gunung itu, agar sedikit mengingat bahwa di depan rumah kami selalu saja menanti kenangan terhambur bersama tingginya. Satu atau dua peristiwa sedih atau senang terbias setelah melihat gunung itu.  Betapa agung ciptaan Yang Maha Kuasa. Membuat kami sekeluarga semakin tersadar, tiada satupun kuasa yang mampu mencipta selain Ia. 

 

Pandang mata kami sangat akrab dengan masyarakat sekitar yang bergantung dari hasil padi di sawah. Berhektar luasnya. Katanya bisa menyangga isi dompet atau asap di dapur agar tetap mengepul. Tapi sayang, meski asap dapur mengepul, pekerjaan sebagai petani tidak menggunakan aplikasi. Hingga kakak dengan enteng bicara, petani adalah pekerjaan rendahan. Tak heran, karena sangat jarang petani di daerah kami adalah orang yang kaya raya.  

 

Depan rumah kami seperti ada lautan persawahan, luasnya hampir separuh dari kecamatan. Di sana tampak puluhan petani yang besarnya mirip tanda titik karena saking jauhnya.  Mereka berjuang mencukupi makan untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan pengasil beras untuk satu negara. Meski kadang para petani itu tak pernah merasa nikmatnya beras murah. 

 

Tag
Share