CERPEN MARHAEN WIJYANTO: Buah yang Jatuh Jauh dari Kakek
ilustrasi literasi--
Selesai beraktivitas seharian, biasanya ayah langsung lari-lari kecil di sekitar taman, push up, set up, lalu memukul dan menendang pohon pisang hingga roboh. Sedari kecil keluarga kami selalu saja disuguhi pemandangan menebang pohon pisang dengan memakai kaki ayah yang besar dan otot di lengannya yang mirip Jean Claude van Damme.
Tendangan ke pohon pisang itu menurut ayah adalah simbol bahwa kalau kita rajin berlatih, apapun bisa kita kalahkan. Kalau kita punya tekad yang kuat, apapun bisa kita robohkan. Filosofi tentang perpaduan tekad, ketekunan, dan keyakinan. Tidak ada yang mengajari ayah merobohkan pohon pisang itu, karena antara kakek dan ayah memiliki sifat dan pribadi berbeda. Tetapi meski demikian, kesamaan mereka adalah sama-sama sayang pada kami.
Kakek sedari muda akan bangga jika beliau juara menulis cerpen atau tulisannya dimuat di media nasional, tapi ayah senang jika mengalahkan gerombolan preman dari sekolah lain serta merayakan kemenangannya bersama geng gondrongnya di kantin sekolah. Kakek adalah seorang sastrawi, idiomatis dengan kepribadian ayah yang tidak bisa halus.
Itulah yang sekarang bisa kakek dan ayah lakukan. Dua sisi mata uang berbeda, padahal mereka berdua adalah ayah dan anak. Ayah dengan tingkahnya yang agak berandalan dan sangar, sedang kakek adalah seorang dengan jiwa melankolis, lembut, teliti, dan rajin menulis. Kakek terkenal bisa memberi nasihat para politikus muda yang memulai karir politiknya sedari dini, sedang ayah adalah alat pengumpul massa lewat komunitas beladiri, otomotif, dan pecinta tato.
BACA JUGA:CERPEN: Tak Ada Lagi Lahan Kosong untuk Kuburanku Nanti
Sembari menikmati masa pensiun, sisa hidup kakek diisi diskusi yang terjadi di jalur Gaza. Beliau sama sekali tak marah ketika kami mendapat masalah, tak bangga berlebih jika berprestasi, dan memberi pandangan hidup yang pas ketika situasi memalukan atau membanggakan.
“Apa sih, Pa. Dari dulu tak pernah sependapat dengan anakmu ini. Lihat, anak-anakku semua menurut dan tak ada yang sedikitpun beda pendapat macam kita.”
“Kadang memang buah tak harus jatuh di dekat pohonnya. Ada yang dekat, berarti si anak dan orang tuanya punya sifat yang identik, seperti kamu dan Rudi. Tapi ayah selalu bersyukur, di rumah ini tidak ada yang bikin malunya sampai keterlaluan. Masih wajar!”
“Maksud ayah?”
“Manusia semua kan berasal dari tanah, termasuk anak-anak itu. Jika anak ini suka bikin onar, mungkin dia berasal dari tanah, tapi tanah longsor. Jika sudah longsor, pastilah akan merugikan dan merusak. Tidak bisa lagi diperbaiki, bahkan jadi penyebab bencana.” Ayah menggaruk-garukan tangan ke rambut.
“Kalau dia sombong, mungkin si anak ini berasal dari tanah puncak gunung, gunung yang tinggi. Wajar ketika tumbuh dia jadi pribadi yang sombong. Nah, kalau si anak ini gemar belanja, dia berasal dari Tanah Abang. Kamu tahu, di sana tempat orang bisa belanja apa saja.”
BACA JUGA:CERPEN RUSMIN SOPIAN: Pengarang Kehidupan
“Oke ya . . Kalau si anak suka meledak-ledak, mungkin dia berasal dari tanah sengketa, bisa warisan atau belum bersurat sama sekali. Sudah begitu, di sana banyak sekali orang menyalakan petasan! Jadi apapun yang keluar dari mulutnya pasti meledak-ledak. Bisa jadi saat hamil, ibunya ngidam jualan mercon! ”
Ayah semakin bingung mau menjawab apa. Salah satu sifat kakek yang tidak ada pada kami adalah melucu. Beliau adalah pelawak di rumah kami.
“Kalau dia ditakuti banyak orang atau membuat orang selalu tidak nyaman? dia pasti berasal dari tanah kuburan! Apapun yang keluar dari mulutnya adalah sesuatu yang bersifat menakutkan: pocong, kuntilanak, atau gendruwo. Tapi seperti kita dan anak-anakmu, buah tak selalu jatuh di dekat pohonnya. ”