CERPEN MARHAEN WIJYANTO: Buah yang Jatuh Jauh dari Kakek

ilustrasi literasi--

“Betul, tamparlah kalau itu kamu mau. Toh, Rudi juga anak kandungmu. Tapi ingat, anak kecil tak bisa melakukan sesuatu bila tidak ada yang mencontohkan. Apalagi zaman sekarang, dia mungkin tak bisa menciptakan sesuatu, tapi kalau meniru-niru itu hal yang paling mudah. Jadi nanti sampai anak cucumu, tiap kesalahan yang bikin malu akan selalu berakhir dengan jalan kekerasan.”

Sebongkah emas segunung yang dahulu tak berharga saat Rudi lahir, apakah tetap tak dipilih jika mendapati anak kesayangan kini tumbuh di lingkungan salah? Seperti biasa, kakek selalu memberi nasihat penting pada kami. Setidaknya tiap sore adu filosofi antara ayah dan kakek tetap marak. 

BACA JUGA:CERPEN SOFHIE : Kontradiksi

Saya melihat sekumpulan ayam di halaman rumah. Ada satu induk dan beberapa ayam kecil yang mengelilinginya. Induk ayam itu memakan nasi bekas yang dibuang tetangga sembarangan di halaman. 

Ketika si induk memakan nasi, ia akan diikuti oleh anak-anaknya. 

Dari cara mencari, hingga memakan beras atau nasi bekas, semua dilakukan sama persis seperti induknya. Anak-anak ayam yang baru menetas belum lama dari telur itu menirukan sama persis seperti yang dilakukan oleh induknya. 

Jika ada elang dari langit yang akan menyambar, maka induknya akan melindungi anak-anak dari terkaman si elang. Si induk akan mencontohkan bahwa suatu saat akan menjadi orang tua yang harus siap melindungi anak-anaknya dari bahaya. Apalagi di musim penghujan dan kadang banjir, cuaca dingin akan menjadi musuh bagi anak ayam. Maka si induk haruslah bisa mencari tempat berteduh dan mengerami si anak, memberi rasa hangat dan nyaman. 

Lalu saya teringat nasihat kakek barusan. Semua yang dilakukan oleh anak adalah dari hasil meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Sama halnya sekumpulan anak ayam yang meniru cara makan induknya.

Lelaki pastilah beda dengan perempuan. Kami berlima tidak ada satupun yang pernah dipanggil ke sekolah karena melanggar aturan, bahkan sekolah terlalu membanggakan kami karena sekumpulan piala dan piagam penghargaan di perlombaan berasal dari kiprah kami berlima. Tetapi giliran Rudi bersekolah di SMP itu, yang diwariskan hanya pelanggaran demi pelanggaran. 

BACA JUGA:CERPEN RUSMIN SOPIAN: Lelaki yang Diludahi Narasi Sesat

Cara berenang burung memang selamanya tak bisa dinilai. Bapak pendidikan kita selalu mengajarkan agar kita bijak menilai tupai memang dari caranya melompat, bukan terbang. Burung kalau disuruh melompat pastilah akan terlihat lucu. Lain lubuk lain ilalang, lain cara tupai melompat lain pula cara burung terbang. Bapak pendidikan kita hanya meminta kita menilai bahwa anak memiliki cara yang berbeda-beda dalam menemukan jatidiri.  

Tapi perilahal bijak dari kakek adalah beliau tak pernah menyalahkan atau memarahi ayah di depan anak-anaknya. Saya hanya mencuri dengar saat menghidangkan kopi atau menyapu di rumah, sekadar merapikan koran-koran nasional, atau menjemur baju di dekat serambi tempat ayah dan para sahabat berkumpul sembari berdiskusi tentang peristiwa -peristiwa mencekam di Gaza. 

Rudi tetaplah Rudi, meski sudah dipanggil puluhan kali, dia tak akan bisa mengubah perilakunya. Kakek dengan tongkat penopang jalannya kembali membersihkan rak-rak lemari yang berisi foto buram hitam dan putih. Entah mengapa, dari muda hingga usianya menjelang delapanpuluh tahun, beliau akrab sekali dengan bersih rumah atau menanam bunga di taman. Membaca koran, menulis artikel atau cerita-cerita pendek ke media, dan menjadi pembicara di seminar daring. 

Sedangkan ayah dengan tato di sekujur tubuhnya lebih memilih mengutak-atik mesin-mesin mobil yang datang silih berganti. Rambut dari beliau muda  hingga sekarang juga tak pernah berganti, padahal Jean Claude van Damme sudah mencukur bagian belakang rambutnya. Beliau masih mempertahankan gaya potongan  rambut aktor idolanya itu. 

BACA JUGA:CERPEN DENIS FEBI YOLANDA: Dun dan Ceritanya Tentang Tawa

Tag
Share