Penjual Koran
Syabaharza-Dok Pribadi-
Oleh: Syabaharza
Udara siang itu sudah tidak steril lagi. Kehadiran asap yang dihasilkan dari knalpot kendaraan yang lalu lalang membuat udara benar-benar terkontaminasi. Udara siang itu seperti suasana pasar yang di tengahnya ada bak sampah seminggu tidak dibersihkan. Jika dilihat dari posisi matahari yang agak miring ke arah barat, diperkirakan saat itu waktu menunjukkan pukul 14.30. Walaupun matahari sudah hendak minggat dari tugasnya, tapi sengatan panasnya masih terasa di ubun-ubun, apalagi sudah satu minggu hujan tidak sudi mampir ke kota itu.
Di saat semua orang bergegas istirahat ke peraduan masing-masing untuk menghilangkan penat. Tampak seorang bapak tua masih setia berdiri di pinggir jalan. Bapak itu terus mendongakkan kepalanya memperhatikan warna lampu traffic light. Bapak itu tidak memperdulikan ancaman asap yang membahayakan kesehatannya. Tanpa memakai masker dan tanpa memakai tutup kepala, bapak itu tetap tegar berdiri. Bagi bapak itu jam seperti itulah ada harapan mendapatkan rezeki, karena di saat itu jalanan menjadi ramai.
Dari sebuah tenda penjual air mineral yang tidak jauh dari lokasi lampu merah, aku terus memperhatikan sang bapak. Dengan baju dan celana yang sangat sederhana, sang Bapak tetap setia berdiri mematung di bawah lampu lalu lintas itu. Setumpuk kertas dengan taburan aksara dipegangnya sangat erat. Harapan bapak itu tentunya lampu lalu lintas itu selalu menyala merah. Walaupun itu adalah harapan yang mustahil, namun hanya dengan itulah ia bisa berharap setumpuk cuan hadir di tangannya.
Hari pun mulai beranjak senja, tapi semangat sang bapak tetap seperti salat subuh yang baru tiba. Ia terus berusaha menjajahkan kertas-kertas yang ada di tangannya. Ia tidak putus asa, walaupun tidak ada sopir atau penumpang kendaraan yang mau membeli dagangannya, bahkan tak satu pun ada yang menoleh ataupun membuka kaca kendaraan. Mungkin juga mereka sudah dikejar-kejar deadline untuk segera bersua dengan keluarga.
*****
“sekarang sangat susah menjual surat kabar” bapak itu bercerita kepadaku ketika beristirahat di tempatku memperhatikannya tadi.
Aku masih diam sambil memperhatikan keadaan bapak itu. Tangannya memegang sebotol air putih biasa yang dibawanya dari rumah. Botol yang dipegangnya sudah lapuk, merknya sudah raib. Tangan itu jelas mewakili kalau ia bekerja sangat keras. Kerutan-kerutannya terlihat jelas. Hitamnya kulit tangan bapak itu akibat sengatan sinar matahari seolah semakin menasbihkan bahwa ia bekerja hampir 24 jam atau mungkin lebih, dalam sehari semalam.
“di zaman sekarang orang tidak lagi suka dengan surat kabar” bapak itu melanjutkan ceritanya sambil menyeruput air putih dalam botol tadi. Tatapannya tetap fokus ke jalan yang sudah mulai sepi.
Aku mafhum sekali betapa sulitnya menjual surat kabar di zaman yang sudah canggih. Orang tentu akan memanfaat teknologi untuk mendapatkan berita, bahkan dengan kecanggihan zaman sekarang informasi akan didapatkan lebih awal melalui smartphone, jika dibandingkan dengan membaca surat kabar. Selain itu orang beranggapan jika membaca berita lewat ponsel pintar tersebut jauh lebih ekonomis dibandingkan membeli surat kabar.
“terkadang hanya satu lembar saja yang terjual, bahkan terkadang tidak ada sama sekali” ujar bapak itu. Kali ini pandangannya dialihkan kepadaku.
Aku merespons pandangan bapak itu dengan mengeluarkan senyum termanisku. Walaupun tidak bisa menghilangkan masalah si bapak, tetapi setidaknya aku berharap senyumanku itu dapat mengurangi rasa lelah si bapak.