Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Urgensi Hak Aksesibilitas Kelompok Rentan dalam Pelayanan Publik

Dicky Wahyudi.-Dok Pribadi-

 

Meskipun landasan hukumnya kuat, implementasi hak aksesibilitas bagi kelompok rentan dalam pelayanan publik seringkali dihadapkan pada tantangan sistemis dan operasional yang signifikan. Banyak penyelenggara layanan masih belum sepenuhnya memahami perbedaan kebutuhan antara masyarakat umum mayoritas dan kelompok rentan yang minoritas, yang pada akhirnya seringkali menyebabkan skala prioritas yang timpang, bahkan berujung pada diskriminasi layanan. 

 

Menurut (M.F.TOWEL, 2020) seorang pakar dalam bidang aksesibilitas dan urban planning, menyatakan “penyediaan fasilitas ramah disabilitas bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga hak yang harus dipenuhi oleh setiap pemerintah dan lembaga publik.”

 

Salah satu tantangan paling fundamental adalah minimnya ketersediaan infrastruktur fisik dan sarana prasarana yang dirancang khusus untuk mengakomodasi kebutuhan kelompok rentan. Fasilitas esensial seperti loket khusus, toilet khusus, area parkir khusus, ruang tunggu khusus, serta ramp dan jalur pemandu, seringkali tidak tersedia. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan dan pengembangan fasilitas belum sepenuhnya mengadopsi prinsip desain universal (universal design) atau design for all, yaitu di mana lingkungan dan produk dirancang agar dapat digunakan oleh semua orang tanpa perlu adaptasi khusus. 

 

Ketiadaan fasilitas dasar ini secara langsung menghambat aksesibilitas fisik bagi individu dengan keterbatasan mobilitas, ibu hamil, atau lansia. Mereka kesulitan mengakses bangunan, ruang publik, atau bahkan toilet, padahal undang-undang secara spesifik mengatur penyelenggaraan bangunan gedung dengan tujuan menjamin kemudahan bagi seluruh penggunanya, termasuk penyandang disabilitas. Selain keterbatasan sarana fisik, tantangan krusial lainnya adalah absennya prosedur dan mekanisme pelayanan khusus yang terstandardisasi dan terpublikasi secara formal. 

 

Walaupun ada inisiatif  ad-hoc atau secara personal dari petugas untuk memberikan perlakuan prioritas, ini seringkali tidak didukung oleh prosedur formal yang berkelanjutan. Ketergantungan pada inisiatif personal dan kebijakan internal yang bersifat adaptif menunjukkan bahwa belum ada sistem baku untuk memastikan konsistensi dan keberlanjutan pelayanan khusus. Tanpa prosedur yang jelas, kualitas pelayanan dapat bervariasi, tergantung seberapa peka rasa peduli petugas yang melayani, hal ini dapat menimbulkan inkonsistensi dan ketidakpastian bagi kelompok rentan, serta berimplikasi pada akuntabilitas karena tidak ada tolak ukur yang jelas untuk mengukur kinerja pelayanan.

 

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah keterbatasan sumber daya manusia dalam pemahaman dan internalisasi regulasi. Meskipun staf pelayanan mungkin memiliki pemahaman dan sensitivitas dasar, seringkali mereka kurang terbiasa secara mendalam dengan kerangka regulasi pelayanan publik dan HAM yang relevan. Ini bukan sekadar masalah pengetahuan, tetapi juga internalisasi filosofi di balik regulasi tersebut, yaitu pentingnya pelayanan inklusif sebagai hak. 

 

Kendala anggaran juga menjadi faktor penghambat, di mana pembangunan atau renovasi gedung agar ramah disabilitas seringkali memerlukan investasi finansial yang besar. Terakhir, kurangnya mekanisme pemantauan dan evaluasi yang efektif memperparah kondisi, karena tanpa data komprehensif, sulit bagi institusi untuk mengidentifikasi celah, merencanakan perbaikan, dan mengukur efektivitas implementasi.

Mewujudkan Inklusi: Sebuah Imperatif Moral dan Legal

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan