Dalam mengambil (menyadap) Aik Kabung, masyarakat di pulau Bangka memiliki tata cara tersendiri, mulai dari peralatan yang digunakan seperti Parang harus disiapkan khusus penggunaannya dan sangat tajam serta tidak dicampur penggunaannya untuk fungsi yang lain, begitu juga tempat penampungan air kabung dan alat untuk memukul tangkai Mayang Kabung yang dipilih dari kayu yang keras dan tahan lama serta tidak mengandung racun. Tangga yang digunakan untuk mencapai Mayang Kabung juga dibuat khusus biasanya menggunakan jenis Bambu yang kuat dan tahan lama, lengkap dengan anak tangga dari kayu yang kuat dimasukkan ke bambu dalam jarak yang teratur sampai menuju Mayang yang akan disadap. Perlakuan terhadap Mayang yang akan disadap biasanya sangat istimewa melalui ucapan mantra dengan syair-syair tertentu agar semangat Mayang dapat mengeluarkan air kabung yang baik dan banyak.
Air Kabung hasil sadapan kemudian diletakkan pada bambu yang dibuat khusus dan biasanya dibawa dengan dipikul. Sebelum dibawa pulang biasanya Air kabung disaring dan dibersihkan dulu dari serangga dan semut dengan hati hati, agar serangga dan semut yang masuk ke Air Kabung masih dapat hidup. Sepanjang perjalanan pulang biasanya penyadap Air Kabung, bila bertemu dengan orang di perjalanan menuju rumah akan menawarkan Air kabung kepada orang yang bertemu untuk dibagi sekedar syarat dan sebagai minuman pelepas dahaga. Kearifan lokal di atas mengajarkan kepada manusia untuk tidak serakah, dan sadar, bahwa hasil dari alam adalah untuk kepentingan dan dapat dinikmati bersama bagi semua makhluk hidup ciptaan Tuhan. Aik Kabung yang sudah bersih biasanya baru diolah untuk berbagai keperluan sesuai dengan kebutuhan.
Pada masa masa awal mesyarakat di pulau Bangka hanya mengolah Air Kabung hanya untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga keluarga saja, tidak untuk kepentingan ekonomi dan komersial seperti saat ini. Pohon Kabung juga dalam kepercayaan mistis pada masyarakat Bangka sering dijadikan sarana untuk berbuat tidak baik yaitu dijadikan sarana untuk mengguna-gunai wanita dengan mengawinkannya dengan pohon atau batang Kabung sehingga seorang perempuan yang putus dengan tunangannya tidak bisa berjodoh atau menikah dengan laki laki lainnya. Pohon Kabung di pulau Bangka, apabila sudah tua dan menjadi punggur sangat rawan disambar petir dan terbakar, oleh sebab itu kemudian, banyak pohon Kabung yang terlalu dekat dengan rumah masyarakat ditebang untuk menghindari sambaran Petir (Habis).