Tak pelak aksi jurnalis ini kerap kali mengalami benturan dan hadangan. Bukan hanya di lapangan namun dalam lingkungan internal tempatnya mengabdi sebagai pewarta, hadangan dan benturan sering terjadi.
Bahkan terkadang suara sumbang menggema dari rekan-rekan seprofesinya terhadap dirinya yang dianggap sok idealis dan pahlawan kesiangan.
Remi masih ingat dan sangat ingat sekali, saat melakukan investigasi tentang rencana penyulapan lahan persawahan milik masyarakat Desa Ancok Lilot menjadi areal pertambangan oleh perusahaan milik Pak Besar beberapa waktu lalu. Kendati sempat ditentang kalangan LSM, namun rencana itu tetap berjalan dan berjalan.
Bahkan kalangan birokrat seolah-olah menutup mata, bahkan ada yang mendukung dengan dalih untuk menambah pundi-pundi daerah.
"Kami bingung Pak. Sebagai rakyat kecil kami ini hanya ingin bertahan hidup. Lagi pula nenek moyang kami hidupnya dari bertani dan bersawah dalam berkehidupan," keluh Pak Dandio saat bertemu Remi.
"Benar Pak. Keahlian kami hanya bertani dan bersawah. Nah kalau sawah kami dijadikan areal pertambangan, kami ini kerja apa? Penambang? Kami ndak paham. Ndak paham," sambung Mbah Culun.
"Tapi kata bapak-bapak yang di atas, kami ini pembangkang karena menolak pembangunan. Apakah pembangunan harus merugikan rakyat?. Apa memang pembangunan harus mengorbankan rakyat kecil? Duh gusti, gusti. Memang begini toh nasib jadi wong cilik dan orang susah. Selalu tersusahkan dan disusahkan. Paling dihargai saat musim kampanye saja," sela Pak Bimbang.
Pada sisi lain, petinggi daerah dengan nada tegas menyatakan kehadiran perusahaan Pak Besar akan mampu mengubah daerah ini menjelma daerah yang berkembang dalam upaya mengeskalasi kesejahteraan masyarakat dan derajat kehidupan rakyat.