Puasa Ramadan Menajamkan Kecerdasan Emosional

Ruchman Basori-Dok Pribadi-
Oleh Ruchman Basori
Kepala Puspenma, Sekretariat Jenderal, Kementerian Agama RI
Psikolog dari Amerika Daniel Goleman (1946) mengatakan bahwa kecerdasan emosional (emotional quotion) menyumbang 80% keberhasilan seseorang, sementara kecerdasan intelektual (intellectual qoution) hanya menyumbang 20% keberhasilan seseorang.
Sementara praktik pendidikan yang kita kenal sehari-hari di lembaga-lembaga pendidikan kita dari PAUD hingga perguruan tinggi, lebih mengarah kepada pengasahan kecerdasan intelektual. Sistem ranking sekolah lebih didasarkan kepada IQ. Orang dikatakan cerdas jika mereka pandai menghafal teori-teori, menelaah, menganalisis, dan segala hal yang bersifat empirik.
Orang yang hafal sekian ribu hadits, teori-teori fisika, dan rumus-rumus matematika dikatakan cerdas. Orang yang pintar menganalisa masalah, pandai berbicara di muka public, dan para dai-dai kondang juga di sebut cerdas. Anak-anak yang menjadi juara olimpiade sains, kompetisi robotic, Musabaqah Qiraatil Quran dan Musabaqah Qiraatil Kutub dalam perspektif IQ adalah orang yang cerdas.
Sementara anak-anak yang memiliki ketrampilan social yang bagus, pandai bergaul, menyenangkan orang lain, empatik dan simpatik pada orang lain (lian), serta segala hal ikhwal yang menunjukan kepedulian pada sesame bukan dikatakan sebagai orang yang cerdas. Karena mereka tidak memiliki capaian akademik yang unggul. Dalam persepektif EQ, orang-orang dengan kelompok seperti ini adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi (EQ).
Pertanyaannya adalah apa yang disebut sebagai kecerdasan emosional? Sehingga dengan memahami EQ, kita dikatakan sebagai seseorang yang adil. Tidak IQ oriented, padahal masih banyak jenis kecerdasan yang dimiliki seorang anak. Para pakar biasa menyebutnya dengan kecerdasan majemuk, sebagaimana diistilahkan oleh Howard Gardner pada tahun 1983.