Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
MENJELANG penjaringan Partai untuk Bakal Calon Peserta Pilkada seperti sekarang ini, istilah “colek madu di idong” oleh para petinggi partai kepada mereka-mereka yang berambisi meraih posisi sudah sangat cocok.
----------
“SAYA ini didorong oleh si A, si B untuk maju”, “Ketua Partai A sudah menghubungi saya agar saya segera mendaftar, karena yang bisa mengalahkan si B hanya saya”, “Saya ditawari oleh calon A dan partai C untuk maju. Mereka sudah komit untuk kita”, “Peta politik berubah sejak saya daftar, sekarang banyak Pengurus Partai menghubungi saya”, begitulah kalimat-kalimat yang sering kita dengar dari mereka-mereka yang sedang mengejar mimpi menjadi Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah, baik di Kabupaten, Kota maupun Provinsi.
Kantor Partai yang biasanya sepi, sunyi, jarang berkegiatan, ruangan penuh “seluket” dan kala malam hari hanya bunyi jangkrik menghampiri dan kala musim hujan suara kodok menggema, kini menjadi ramai tamu berdatangan, sebab formulir pendaftaran sedang diiklankan kepada siapa saja yang berminat menorehkan curriculum vitae-nya agar dapat tersaring menjadi salah satu pasangan dalam kontestasi politik. Minimal bisa menjadi calon, kalah atau menang urusan belakangan. Minimal jadi Wakil Kepala Daerah, syukur-syukur jadi Kepala Daerah. Mungkin begitu yang ada dalam benak mereka yang sedang mempertaruhkan nasib politik kepada keputusan Partai Politik.
Di Bangka Belitung, semua bakal calon mendaftar hamper ke semua partai, nampaknya baru kali ini terjadi dan menjadi unik tersendiri. Ibarat mencari ikan, pasang bubu dimana-mana, siapa tahu ada 1 atau 2 yang kemasukan ikan. Yang paling unik (kalau tidak dikatakan menjijikkan) ada partai yang sudah menyatakan dukungan kepada seseorang disaat partai lain masih dalam penjaringan. Jijik plus lucunya lagi, yang didukung bukanlah kader partainya, tapi kader partai lain dan kadernya sendiri yang potensial tidak ditoleh sama sekali sebab dianggap tak mampu (finansial). Kepada kawan partai tersebut saya katakan, inilah yang akhirnya membuat orang-orang malas untuk aktif untuk membesarkan partai, sebab kader partai seringkali dimasa pencalonan Kepala Daerah sering disingkirkan karena ketidakmampuan finansial. Padahal dalam ruang demokrasi, partai itu sangat penting dan yang terpenting adalah menciptakan kader loyal dan orang-orang yang membesarkan partai.
“Colek madu di idong” istilah orangtua tempo doeloe. Makna dari istilah ini adalah madu yang yang dikenal begitu manis, ketika dicolek dihidung hanya tercium manisnya saja. Sedangkan dinikmati oleh lidah tidaklah mampu sebab lidah tak sampai menjilat madu yang tercolek di hidung. Madu yang manis hanya dicolek maksudnya adalah janji seakan pasti, namun hanya dapat tercium harumnya saja.
Dalam kondisi dan situasi politik seperti ini serta dalam demokrasi yang masih menomorsatukan finansial, maka jangan harap ada kepastian bagi orang-orang yang memiliki kredibilitas, integritas, popularitas, sebab isi tas lebih penting ketimbang itu semua. Jangan heran pertanyaan yang muncul: “Berapa dana yang sudah disiapkan?”. Lalu yang paling bodoh lagi ada calon yang sangat-sangat berambisi, sudah memasang baliho dan poster disana-sini, siap menjadi Wakil Kepala Daerah dan menyebut-nyebut berapa Milyar dana yang sudah ia siapkan. Ini Kesehatan demokrasi menjadi kian buruk di bumi pertiwi. Banyak orang berlagak santun, tapi membunuh idealisme. Banyak yang berlagak alim dengan kopiah dan gaya bicara agamis, namun kenyataannya perusak mental generasi dalam mencapai sebuah demokrasi sehat. Akhirnya, saya melihat banyak anak-anak muda lahir di daerah yang memiliki potensi besar dalam kepemimpinan, kecintaan dan berbudaya terhadap daerahnya, harus menyepi sebab demokrasi sudah kian semakin menjijikkan. Tak heran, muncul penjilat sana sini, perusak ruang-ruang indah demokrasi tak lagi malu berinteraksi bahkan pamer diri. So, istilah orangtua kita tempo doeloe, “Colek madu di idong” menjadi kian relevan untuk janji-janji demokrasi hari ini. Produk-produk yang keluar dari pabrik demokrasi hari ini akhirnya menciptakan cacing yang berlabel naga dan alkohol bermerek zam-zam.
Dalam partai politik, terlebih lagi di kepengurusan pusat, jangan heran jika akan banyak pintu-pintu yang harus dilewati. Salah melewati pintu, punah sudah harapan dan terpaksa harus membungkus ambisi dengan air mata. Pun demikian, ketika pintu-pintu itu dibuat hingga ke daerah, akan muncul nanti makhluk-makhluk penunggu pintu yang mengatasnamakan Ketua Umum atau pengambil keputusan. Yang hanya modal integritas, popularitas dan elektabilitas tanpa isi tas, siap-siap istilah “colek madu di idung” menjadi kenyataan.
------
“ATOK Kulop dak nyalon aok?” setiap hari rasanya pertanyaan itu datang, baik langsung maupun via WhatsApp atau medsos. Pertanyaan yang sama, saya jawab berbeda (melihat siapa yang bertanya). Saya jawab dengan canda: “Gimana mau nyalon, rambut sudah tipis dan hampir botak seperti ini”. Ada juga saya jawab serius: “Belum ada partai yang melirik karena bagi mereka saya tidak menarik”. Lain waktu saya jawab sok tegas: “Saya siap, tapi tidak membabi buta mempersiapkan diri. Siap jadi apapun dan siap tidak jadi apapun”.
Di lain kesempatan saya jawab lagi: “Ko ne nek, tapi dak bekenek igak” (Saya ini mau tidak maunya sendiri/ambisi)”. Suatu waktu, saya jawab keras: “Orang seperti saya ini cenderung tidak disukai partai politik sebab susah diatur, jadi rasanya tidak mungkin dicalonkan kecuali partainya benar-benar membutuhkan dan ingin bikin kejutan serta merubah peta politik”. Juga pernah saya beri jawaban: “Biar partai bae yang daftarin nama ko ke KPU. Ko along di kebun bae”.
Salam Madu!(*)