Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Dak Nenger di Padah

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

Kalau orang Banten, dak mempan senjata

Kalau orang Bangka, dak mempan dipadah

 

BEBERAPA tahun silam, sambil ngopi dan sarapan pagi di sebuah Apartement di Jakarta Pusat, saya dan Prof. Dr. Sofian Effendi (putra Bangka Belitung, Mantan Rektor UGM Yogyakarta) sempat diskusi mengenai “kondisi Bangka Belitung hari ini” dari soal pemerintahan, sosial, ekonomi, hingga politik.Walaupun tidak banyak tahu, tapi saya sangat bersyukur, seringkali diajak diskusi oleh orang-orang pintar, sehingga saya semakin tahu bahwa banyak hal yang saya tidak tahu dan akhirnya sedikit banyak menjadi tahu atau setidaknya pura-pura tahu. Lebih syukurnya ternyata orang-orang yang benar-benar pintar itu tak pernah menolak atau pun jijik untuk sekedar diskusi dengan budak kampung seperti saya, karena mereka tahu bahwa paling-paling saya minta ditraktir makan dan ngopi gratis, ngajak diskusi itu hanya alasan saja.

Sambil minum kopi pagi, Prof. Sofian Effendi sempat berkelakar mengenai sifat orang Bangka “dak nenger di padah” alias tidak mau mendengar nasehat atau omongan orang lain. “Asak di padah, mereka ngejawab “kami ge lah tau”, jadi repot kita ini” cerita beliau yang menyindir perilaku kita yang selama ini sepertinya masih tetap erat melekat hampir setiap pribadi masyarakat kita, terutama yang sedang duduk dalam sebuah jabatan. 

***

SINDIRAN saya diatas yang menyebutkan bahwa “orang Banten tidak mempan senjata dan orang Bangka tidak mempan di padah”, sebetulnya hanya sekedar guyonan saja dan semoga salah adanya. Hal ini sebetulnya hanya mengaitkan saja sejarah Provinsi Banten dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang memiliki historis kebersamaan dalam pembentukan Provinsi, 25 tahun silam. Banten dan Bangka Belitung sama-sama menjadi Provinsi di waktu hampir bersamaan, hanya berbeda beberapa hari saja. Bahkan konon dalam pengesahannya ini ada “deal” antara Yusril Ihza Mahendara selaku Mensesneg dan Soerjadi Soedirja selaku Mendagri kala itu, yakni kesepakatan lisan di antara mereka berdua untuk sama-sama saling memuluskan kedua wilayah kelahiran masing-masing itu menjadi Provinsi. Begitu yang diceritakan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendera, M.Sc. kepada saya beberapa tahun silam di ruangan kerjanya. Lagi-lagi kala itu saya iseng datang untuk diskusi berjam-jam dan ngopi beberapa gelas bersama orang pintar kelahiran Bangka Belitung ini. 

Lagi-lagi saya menyebutkan kalimat “orang pintar” pada tokoh nasional kelahiran Bangka Belitung, Sofian Effendi dan Yusril Ihza Mahendra. Bukan tanpa alasan, jika diperhatikan dan mungkin dilakukan sebuah penelitian, jangan-jangan mayoritas masyarakat Bangka Belitung ini masuk dalam golongan masyarakat yang berotak pintar. Tapi tak perlulah, khawatir nanti kita semakin “taipau begereng” jika benar-benar ada dan benar adanya penelitian tersebut. 

Walaupun belum ada penelitian itu, tapi saya berani mengatakan sekaligus mengakui untuk mensyukuri, bahwa sebenarnya masyarakat asli Bangka Belitung memang tergolong cukup cerdas dan memiliki kemampuan diatas rata-rata dari sisi otaknya. Kecerdasan otak putra-putri Bangka Belitung tak bisa diremehkan, jauh sebelum kita mengenal deretan orang-orang pintar kelahiran Bangka Belitung sekarang ini, di zaman kemerdekaan RI, Dipa Nusantara (DN) Aidit adalah putra kelahiran Belitung yang dikenal cerdas dan penuh daya tarik yang heroik, namun hanya salah tempat dan salah ideologi, yakni komunisme (PKI). Sederet orang pintar di Indonesia ini, yang memiliki otak cukup cerdas adalah putra-putri Bangka Belitung yang padahal wilayah dan penduduknya sangatlah kecil jika dibandingkan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Lantas, kalau sudah bagus-lah kita punya otak, bagaimana pula kita punya watak?

Otak dan watak adalah dua hal yang berbeda. Otak cenderung pada pemikiran sedangkan watak lebih pada perilaku dan kebiasaan. Kebiasaan seseorang cenderung disesuaikan dengan isi otak yang kerapkali disebut sebagai isi kepala seseorang. Begitu pula dengan kebiasaan atau watak seseorang dikendalikan oleh otak dan nilai-nilai spritual dalam dirinya. Oleh karena itu, hendaknya antara otak dan watak harus berjalan beriringan. 

Masyarakat tidak membutuhkan apa isi otak atau isi kepala seseorang, tetapi cenderung bagaimana watak atau perilaku kehidupannya. Seseorang akan lebih dinilai baik atau buruk sesuai dengan kebiasaannya. Oleh karena itu, jika ada pejabat, berpangkat tinggi, berseragam mentereng, tapi kelakukannya bejat, suka emosi, suka ngamuk, apalagi di tempat umum, bisa dilihat kadar keilmuan dan isi otak di kepalanya. 

Nah, kembali pada persoalan “dak nenger dipadah” sebetulnya adalah efek dari sikap “taipau” yang merasa lebih tahu, lebih bisa, sudah tahu sebelum orang lain tahu, dan sebagainya. Karena orang yang “dak nenger dipadah” ini sebetulnya sudah mendengar, hanya saja tak mau atau tak mudah mengikuti apa yang dibicarakan, kalimat mudahnya, “di denger, tapi dak digawi” atau istilah orangtua zaman dulu, “tau-tau belatok” (tahu, tapi tahunya bagaikan burung belatuk/pura-pura tahu dan merasa tahu) 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan