Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
KELOMPOK besaoh nutuk ini akan berpindah-pindah ke rumah gadis-gadis lainnya bila gilirannya telah tiba.
GERAKAN menutuk padi menimbulkan bunyi yang menarik: ”tang, tung, tang, tung, tang, tung”, bila penutuk ditambah seorang lagi, maka tambah ramai lagi bunyi lanting, bila ditambah seorang lagi menjadi Empat orang, bukan main ramainya ”tang, tung, tang, tung, tang, tung, tang, tung” setelah dihitung dalam Satu menit mencapai Lima puluh kali bunyi: ”tang, tung, tang, tung, tang, tung” dan dalam waktu tidak begitu lama, padi hasil putik pertama tadi selesai ditumbuk kemudian ditampik (ditampi) dan dipilih antanya (sekam). Hasil panen padi yang lain setelah kering dijemur disimpan untuk cadangan pangan selama setahun di satu wadah yang disebut perges, kemudian perges yang berisi padi diletakkan di dalam rumah, biasanya di bawah tempat tidur karena masyarakat Bangka tidak mengenal lumbung padi.
Kegiatan berikutnya dari beume adalah Ngetep Nasik Baru yaitu proses menyiapkan makanan dari hasil panen pertama yang disebut nasi baru putik hari pertama. Sebagai lauk pauk biasanya berupa ikan dalam sangkar yaitu ikan Tapa, ikan Kelesak (arwana), ikan Baung, ikan Kiung, ikan Arun, Udang Galah (Udang Satang), hasil buruan binatang seperti daging Pelanduk, daging Napo, daging Kijang dan daging Rusa. Ngetep Nasik Baru sering juga disebut Ngembaruk atau upacara mengkonsumsi nasi baru dan menjadi hari raya di kampung dalam mensyukuri keberhasilan panen padi. Ngembaruk merupakan cikal bakal dari kegiatan Nganggung di pulau Bangka. Nganggung berarti mengangkat atau mengangkut sesuatu yang agung atau yang mulia dari panggung (pondok ume). Bahan yang diangkat biasanya terdiri dari ”sedulang cerak dan sedulang ketan”. Sedulang cerak merupakan simbol nasi, ketupat yang dibuat dari beras cerak atau beras darat hasil panen pertama (ngembaruk) yang dilengkapi dengan aneka macam lauk pauknya, sedangkan sedulang ketan merupakan simbol aneka macam kue, lepet yang terbuat dari bahan beras ketan hasil panen pertama.
Upacara syukur panen padi hampir dilaksanakan di seluruh kampung di pulau Bangka dengan nama yang beragam misalnya nujuh jerami, murok jerami, ceriak nerang, ngembaruk, dan kalau di Belitung dikenal dengan sebutan Maras Taun. Mata pencaharian hidup yang utama masyarakat di pulau Bangka adalah berladang padi atau beume. Hampir semua rumah tangga melaksanakan pertanian padi secara berladang beume dan memperoleh bahan kebutuhan pangan utama dari hasil usaha beume. Padi merupakan jenis tanaman yang terpenting dan bahan pangan utama. Padi memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Masa tanam, pertumbuhan dan saat panen padi menjadi wahana penting dalam berbagai aspek interaksi sosial dan membentuk budaya masyarakat Bangka.
Pada masa lalu Satu keluarga akan kembali mengolah bekas lahan umenya, setelah berpindah kurang lebih Sepuluh kali. Dalam sistem pertanian ini rata-rata setiap keluarga membutuhkan cadangan lahan hutan seluas 20 sampai 40 hektar. Bekas ume biasanya telah tumbuh kembali menjadi hutan sekunder yang dipenuhi pohon cukup besar atau dalam istilah masyarakat Bangka menyebutnya dengan belukar lame atau bebak. Lahan tersebut kemudian dianggap sudah cukup subur dan bisa untuk dibuka kembali menjadi ume. Hak kepemilikan atas bebak masih melekat pada keluarga yang membuka lahan pertama. Bila bebak tidak diolah menjadi ladang ume, maka status lahan menjadi milik komunal akan tetapi masih ada sebagian hak kepemilikan dari hasil yang diperoleh orang lain dari bebak tersebut yang harus diserahkan kepada pemilik lahan pertama. Misalnya pada wilayah bebak diperoleh madu, jamur atau hewan buruan, maka ada bagian dari hasil hasil tersebut yang wajib diberikan kepada pemilik lahan pertama. Tanah yang tidak diolah dan menjadi bebak dapat diambil kembali oleh kesatuan hukum (rechtsgeenschap) untuk diberikan kepada orang lain yang memerlukannya.
Setiap penggunaan dan pembukaan lahan untuk dimanfaatkan oleh keluarga Batih Monogami penduduk kampung harus mendapat persetujuan atau izin dari kepala rakyat yang berkuasa di wilayahnya, termasuk pengaturan terhadap orang dari wilayah lain yang ingin memanfaatkan lahan di satu kampung atau batin. Izin pengelolaan lahan bagi pendatang hanya boleh diberikan oleh kepala rakyat yang berkuasa di wilayahnya dan dikenakan ketentuan hasil dari pemanfaatan lahan tersebut dengan dibagi Empat, yaitu sebagian untuk kepala (Gegading dan Batin) atau pemilik lahan yang ditumpang dan Tiga bagiannya untuk orang yang menumpang. Bagi orang yang menumpang memiliki kewajiban menolong untuk mengerjakan lahan orang tempatnya menumpang atau menolong bekerja di tempat kepalanya. Ketentuan lengkapnya Pasal Empatbelas Hukum Adat Sindang Mardika berbunyi:
“Jikalau orang berladang di dalam wilayah kepala punya wates atau tanah harus izin batin atau proatin dan Jikalau orang lain batin atau proatin masuk berladang di dalam lain kepala punya wates atau tanah, maka beberapa perolehnya ladang dibahagi Empat; kepada yang punya tanah Satu bahagian dan yang Tiga bahagian orang yang menumpang, lagi yang menumpang menolong kerja di dalam itu tanah tempat dia berladang di dalam beberapa lama tempo kerja”.
Tanah atau lahan yang akan dikelola adalah tanah yang sesuai dengan peruntukannya seperti tanah untuk cadangan ume atau ladang atau tanah bekas ladang yang menjadi bebak atau belukar lama milik perseorangan yang kembali menjadi milik komunal. Tanah yang dikelola harus diberi tanda tanda batas yang jelas dan diusahakan atau ditanami dengan tanam tumbuh. Sementara itu jika ingin mendirikan bangunan atau rumah tempat tinggal di atas tanah orang lain, dapat dilakukan atas kesepakatan dua pihak dan diketahui oleh kepala rakyat, begitu juga jika akan menanam tanam tumbuh di lahan atau tanah milik orang lain dapat dilakukan atas kesepakatan dua pihak dan diketahui oleh kepala rakyat.
Umumnya apabila lahan bekas ladang ume tersebut masih disukai oleh pemilik, dan biasanya ditanam dengan tanaman palawija atau holtikultura seperti jagung, pisang, pepaya, umbi umbian, lahan tersebut dalam istilah masyarakat Bangka disebut dengan kubak. Selanjutnya lahan bekas kubak tersebut ada yang dijadikan sebagai lokasi perkampungan karena kebutuhan akan ruang hunian. Ada beberapa bekas Kubak yang menjadi kampung di pulau Bangka dan yang paling pesat perkembangannya adalah Kubak yang menjadi kota Koba, ibukota Kabupaten Bangka Tengah. Koba atau Kubak adalah salah satu distrik yang terletak di pesisir Timur pulau Bangka. Dalam satu catatan tentang Koba atau Kubak dinyatakan, bahwa:
De pankal of hoofdplaats Koba heeft in de geschiedenis eenige bekendheid, dewijl de van Palembang verdreven Sultan Anom (later te Palembang terdoodgebragt) alhier, en wijderste Pako en elders op Banka, gedurende de jaren 1722 tot 1732 verschansingen had opgerigt, ten eindezich op Banka staande te houden. Ze wordt door eene Redoute beschermd, in welker nabijheid de woning van den Administrateur (in 1854 den heer van slingbrinnd gelegen is). Het district Koba teltvele Tinmijnen, doch die niet zoo produktief zijn als andere Bankaschemijnen. Het land is overdekt met uitgestrekte wouden, de woonplaats van ontelbare wilde varkens (Buddingh, 1861:68).
Maksud dari Buddingh tentang Koba adalah: Pankal atau ibukota Koba memiliki beberapa ketenaran/kehebatan dalam sejarah, sejak Sultan Anom (kemudian dibunuh di Palembang) yang telah diusir dari Palembang membangun kekuatan di sini (maksudnya di Koba Bangka), dan yang telah membangun kekuatan tersebar luas sampai di Pako (Paku) dan di tempat lain di pulau Banka selama Tahun 1722 hingga 1732 untuk berkuasa atas pulau Banka. Koba itu dilindungi oleh Benteng, yang di sekitarnya adalah rumah Administrator (pada Tahun 1854 penguasanya Van Slingerland). Distrik Koba memiliki banyak tambang Timah, akan tetapi tambang-tambang Timah tersebut tidak seproduktif tambang Timah di bagian lain pulau Banka (Bangka). Tanah di distrik Koba masih ditutupi oleh hutan yang luas/ lebat, dan menjadi rumah/habitat bagi Babi Hutan yang tak terhitung jumlahnya.
Penjelasan Buddingh tentang distrik Koba yang tanahnya masih ditutupi oleh hutan yang luas/lebat, dan menjadi rumah/habitat bagi Babi Hutan yang tak terhitung jumlahnya (Het land is overdekt met uitgestrekte wouden, de woonplaats van ontelbare wilde varkens), menunjukkan, bahwa wilayah hutan atau rimbak di Bangka, khususnya di distrik Koba masih sangat lebat. Dalam bahasa Hakka Kota Kubak disebut dengan komuk yang berarti kayunya besar besar atau masih terdapat hutan Rimbak. Di pulau Belitung Kubak sering disebut dengan Kubok yang berarti kampung.(Bersambung/***)