Satria masuk. Di dalam, Alea duduk lemah di ranjang, menatap ke luar jendela. Matanya berkabut.
“Alea…” bisik Satria pelan.
Gadis itu menoleh. Pandangannya kosong.
“Maaf… kamu siapa?”
Satria terdiam, suara di sekitarnya mendadak menghilang. Hanya ada denting hati yang retak.
Dokter datang dan menjelaskan bahwa alea mengalami cedera di kepala menyebabkan sebagian memorinya hilang. Ia tak lagi mengingat orang-orang di sekelilingnya dengan jelas.
Satria tersenyum kecil, meski perih menekan dadanya. Bahkan dalam versi dirinya yang baru, ia tetap tak diberi tempat. Tapi ia tak marah, tak juga kecewa. Ia hanya belajar… bahwa tak semua rasa akan dibalas dengan kenangan yang sama.
Tiga bulan setelahnya. Waktu terus melaju, seolah tak peduli ada kenangan yang belum sempat kembali.
Di salah satu sudut taman, Alea duduk di bangku kayu ditemani Reza. Mereka berbincang pelan, sesekali tertawa kecil.
Tawa itu terdengar ringan, namun di mata Satria yang duduk tak jauh dari mereka, semua terasa sunyi. Ia membuka jurnal lapangannya. Mencoba sibuk, pura-pura lupa bahwa di sana, ada seseorang yang pernah ia genggam dalam diam. Seseorang yang kini tertawa… tanpa mengingatnya sedikit pun.