Dunia Satria seketika hening. Kalimat itu menampar sunyi ke dalam tubuhnya, seperti petir yang menyambar namun tak sempat menimbulkan suara.
Di rumah sakit, harum antiseptik menusuk indera. Langkahnya pelan, nyaris tak bersuara, seakan takut mengusik sunyi yang menggantung di udara.
Di ujung lorong, Diva duduk terpekur, matanya sembab, tangannya gemetar menggenggam tisu yang sudah lusuh. Satria tak berkata apa pun, hanya menepuk pelan pundaknya, lalu masuk ke ruangan bernomor 10.
Di dalam, Alea terbaring lemah. Selang infus menempel di punggung tangannya. Monitor jantung berdetak pelan.
Wajahnya pucat, nyaris tak bergerak, seolah tertidur panjang dalam dunia yang tak terjangkau siapa pun. Satria menarik kursi pelan, duduk di sisinya. Ia meraih tangan Alea, tangan yang dingin dan lemah ia menggenggamnya dengan hati-hati.
Ia tak mengatakan apa pun. Ia memandangi wajah Alea lama, menyusuri setiap lekuk kenangan yang pernah mereka lalui. Dari pantai, tawa kecil di sela percakapan, tatap singkat di balik catatan lapangan, hingga detik-detik yang tak sempat diungkapkan. Ia ingin berkata, Seandainya aku lebih cepat... seandainya aku tak menunggu terlalu lama...
Seminggu kemudian, langit sore berwarna abu-abu pucat. Satria berdiri di depan ruang rawat, jantungnya berdetak tak karuan. Diva menghampirinya cepat, di wajahnya ada harapan yang nyaris tak berani tumbuh.
"Alea sadar," ucap Diva singkat.