Cerpen Marhaen Wijayanto: Ifan Belum Merdeka

ilustrasi--

Jika ada tempat lebih baik, maka Ifan dan teman sekelasnya  akan pergi ke sana. Kuburan dan jurang di tepian kampung itu kala hari terasa lebih  indah meski fana. Mengapa  ia dan teman sekelasnya yang harus tertimpa kobaran api di kelasnya. Mengapa anak sekecil Ifan disuguhi api membara? Kelas yang dihuni tiap hari bagai neraka. 

 

Sebenarnya dia ingin berontak. Tapi apa daya, ia hanya siswa tak berkutik kala dibentak. Label nakal, usil, dan tak tahu aturan seperti sudah terkalung. Tiap kesalahan di kelas, dia yang harus menanggung. Ifan hanya siswa, anak kecil mungil tak berdaya di hadapan Pak Galak. Kelas Ifan seperti pertunjukkan film anak yang malah dimenangkan oleh monster galak. 

 

Ifan membayangkan mendadak bisa mengubah diri menjadi pehlawan penyelamat kota. Sedangkan monster kota di depannya itu segera ia hancurkan dengan kekuatan yang ia dapatkan dari berguru. Semacam cahaya gaib yang keluar dari lengannya. Menyorot deras menuju monster hingga tubuhnya hancur berkeping.

BACA JUGA:CERPEN MARHAEN WIJAYANTO: Sambal Terasi

Sebenarnya dia ingin meniru superhero di teve yang berhasil mengalahkan monster, tapi sayang ia tak berdaya karena hanya seorang siswa, sedang yang dihadapinya adalah guru. Andai ia mampu berubah menjadi ultramen, Ifan bangkit dan menghantam Pak Galak dengan kekuatan ajaib. Tapi sayang, ia hanya siswa. 

 

Ifan dan teman sekelasnya jadi superhero yang kalah. Seperti ultramen yang terbantai oleh ketidakberdayaan, kewenangan sutradara yang bernama Pak Galak. Monster di kelas itu beratus episode telah menjelma jadi pemenang.

Film superhero yang tak layak ditujukan pada anak. Kekerasan dan kekalahan superhero bukanlah pertunjukkan yang elok untuk anak sekecil itu.

 

 Ultraman selalu saja kalah. Ia tumbang melawan monster musuh anak yang sangat ponggah. Ultraman tetap kalah, mesti dia jadi pemenang di arena lain. 

“Biasanya seperti ini ya seperti ini,” kata Pak Galak. 

 

Sembari mengepulkan asap rokok, ia menyuruh anak didiknya mencatat berlembar-lembar buku. Anak kelas tiga SD sudah mengepal-ngepalkan tangannya karena pegal. Ifan hanya bisa melirik ke sana ke mari. Ia dilarang bergerak. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan