Menunggu Konsistensi Kebijakan Pendidikan Inklusi
Kristia Ningsih-Dok Pribadi-
Seorang tuna rungu Indonesia mengajar di Institut Teknologi Rocketer Amerika. Lantas, mungkinkah seorang difabel menjadi dosen di Indonesia? Dengan fakta bahwa pelajar anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi pun masih belum terlayani optimal; sepertinya menuju difabel pengajar masih perlu jalan panjang.
Oleh Kristia Ningsih
Penulis Lepas di Sungailiat
Pendidikan inklusi termaktub dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Pendidikan yang ramah ABK ini dijelaskan Rombot (2017) dengan, “Sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa kecuali ada perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa atau kondisi lain termasuk penyandang cacat, anak berbakat, anak jalanan, anak bekerja, anak etnis, budaya, bahasa, minoritas, dan kelompok anak-anak tidak beruntung dan terpinggirkan.”
Di samping itu, saat ini pendidikan inklusi sedang hangat diperbincangkan. Cita-cita pendidikan setara untuk seluruh anak Indonesia itu tampil dalam media massa. Misalnya opini berjudul Sekolah Inklusi, Niat untuk Merangkul Perbedaan dalam Kompas. Ada pula Media Indonesia memuat judul Membangun Budaya Sekolah Inklusif melalui Keadilan Restoratif hingga Media Flashcard dalam Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Anak Berkebutuhan Khusus di SD Inklusi di Jawapos.
BACA JUGA:Kemiskinan Itu Antara Pemikiran, Warisan, dan Takdir
BACA JUGA:Menjaga Api Literasi dengan Kayu Bacaan
Tantangan pendidikan inklusi terangkum dalam tulisan seorang mahasiswi Sosiologi Universitas Brawijaya pada Kumparan. Ia menyebut bahwa saat ini pendidikan inklusi menghadapi ketidaksepahaman persepsi, kebijakan yang tidak disertai konsistensi pemerintah, sistem pendidikan yang kaku, hingga sarana yang kurang inklusif.
Padahal, pendidikan inklusi yang kondusif memungkinkan anak-anak non ABK tidak takut bersosialisasi dengan anak ABK dan sebaliknya. Semakin tolerannya sesama peserta didik dan makin berkomitmennya mereka pada etika dan moral. Sedangkan yang terpenting untuk pelajar difabel sendiri ialah mengenyam pendidikan dengan adil dan nyaman.
Pendidikan inklusi Amerika memudahkan mahasiswanya belajar dari dosen seperti Putra Sahetapy. Di negeri Paman Sam itu, bahasa isyarat menjadi mata pelajaran bagi pendidikan dasar hingga menengah. Sekolah yang belum melakukan hal serupa melakukan studi tiru dari sekolah pendahulunya. Sehingga, penelitian terkait ABK dan pendidikan adalah hal yang lumrah. Hasilnya, di Amerika, ABK mengenyam pendidikan gratis (akun youtube Sahabat Ganjar).
Rochester Institute of Technology menciptakan program Peace Corps. Program tersebut mendatangkan dosen Amerika untuk melatih dan memantau pendidikan inklusi secara menyeluruh. Filipina, Vietnam, dan Tiongkok sudah memulainya (youtube Sahabat Ganjar). Bukankan ini sebuah peluang bagi Indonesia? Atau bahkah mungkin, ada universitas di Indonesia yang juga memiliki program serupa hanya kurang terdengar gemanya.
Penulis pernah bersentuhan langsung dengan siswi dan siswa ABK. Sang siswi tidak bisa selesai menuliskan kalimat. Sedikit saja salah huruf, ia hapus dengan tipe-x, tulis lagi, hapus lagi dan begitu seterusnya. Ia butuh waktu yang tidak wajar untuk melakukan hal sederhana bagi banyak orang. Namun, anak ini memiliki kesantunan di atas rata-rata.