CERPEN DENIS FEBI YOLANDA: Dun dan Ceritanya Tentang Tawa
ilustrasi cerpen-koranbabelpos.id-
Inilah yang aku takutkan, saat ia hanya berjalan dengan kakinya sendiri, tumbuh dengan kekuatannya tanpa siapa saja, tapi mereka masih menganggap hal sesederhana anak istimewa mewarnai pekan raya bersama sebagai lelucon. Sekarang aku tahu, hal apa yang paling menjengkelkan selain melihat Dun menghamburkan rumah.
Aku duduk di antara bangku-bangku yang perlahan terisi penuh seiring siang datang. Pedagang jalanan mulai memarkirkan gerobak di pinggir-pinggir tenda.
Tenda dengan siluet warna kuning kesukaan Dun, juga panggung semakin meriah dengan puluhan tepukan tangan dan turut menyemangati kontestan, di antara puluhan setidaknya ada satu tepuk tangan yang tertuju pada Dun, tepukan dari tangan yang sebelumnya menyembunyikan berita tentang hal ini.
BACA JUGA:PUISI PUISI BASTRA SMAN 1 SUNGAILIAT
Senja sudah menguasai petang, terang jingga meromantisasi lapangan desa dengan sangat menawan. Sembari menunggu malam kejuaraan karya terbaik diumumkan, dari juara ketiga lalu kedua, ditemani sorakan selamat dari orang tua yang berbahagia. Namun, di sisi lain anak-anak yang gagal hari ini punya cerita yang berbeda, mereka yang tertawa tadi seolah menjadi orang asing.
“Ga apa apa,” ucapku sembari menyodorkan setangkai es krim pelangi kesukaannya. Aku sudah mengira sejak awal, anak sepertinya mungkin tidak akan bisa.
“Juara petamanya karya dengan nuansa kuning cerah, Dun!” ucap pembawa acara disambung dengan teriakan dan tepuk tangan terpanjang yang pernah aku dengar.
Ia berlari sangat kencang seolah seekor kijang yang gagah ke atas panggung bersama setangkai es krim erat masih digenggamnya. Ralat, dia bisa! Ya, dirinya ternyata memang bisa.
Anak-anak lain menangis, sambil memeluk ibunya namun di antara mereka, Dun tersenyum sangat lebar, dengan es krim yang meleleh bersama ingusnya, ia berteriak ke arahku, “Dun menang! Dun sudah mengira Dun menang! Pasti kakak!” lalu memelukku.