Inflasi Politisi, Defisit Negarawan

Ahmadi Sopyan-screnshoot-

Pernah saya ungkapkan melalui tulisan beberapa tahun silam, bahwa perilaku “hanya karena merasa” inilah yang akhirnya menciptakan manusia-manusia kaget, entah itu kaget struktural, kaget spiritual dan kaget sosial. Kita kerapkali merasa besar, ternyata kenyataannya kita tak sebesar yang kita rasa, sehingga ketika ada orang yang tidak menganggap diri kita besar kita kecewa dan murka. Juga karena merasa sedang dekat dengan orang besar, lantas ketika orang yang kita anggap besar dan kita besar-besarkan itu dikritik, justru kitalah yang kaget dan ngamuk lalu bersikap murka kepada para pengkritik yang sebenarnya sedang memberikan “cermin” kepada orang yang sedang dikritik. 

Kita merasa orang sedang mengkritik atau menghina kita, padahal orang tersebut sedang memberikan kasih sayangnya dengan cara yang berbeda, hanya karena ketidakpahaman dan cetek-nya ilmu, malah kita hujat dan memprovokasi orang lain untuk turut menghujat. Padahal pada kenyataannya makna yang tersirat bukan sedang mengkritik, tapi itulah kita, selalu saja mengedepankan sikap hanya karena merasa bahwa sang pengkritik salah dan kita adalah benar. Kita sering merasa pintar, tapi kenyataannya banyak hal yang tak kita ketahui dalam hidup ini, bahkan persoalan dan kenyataan yang ada didepan lobang hidung sendiri seringkali tak kita ketahui, dan ketika ada orang yang mengetahuinya dan memberitahu kita malah murka. Kita merasa kaya, tapi pada kenyataan hutang menumpuk dimana-mana. Kita merasa kitalah yang paling miskin dan menderita, sehingga menjual kemiskinan dan penderitaan itu kemana-mana dengan menadahkan tangan meminta-minta, padahal kemiskinan itu bukan untuk diumbar agar orang lain iba, tapi kemiskinan sedang mengajarkan kita untuk mandiri dan semakin keras berusaha.

Kita sering merasa diri kita adalah seonggok mutiara, tapi pada kenyataannya kita tak lebih dari serbuk-serbuk ringan atau tepung yang tak berarti apa-apa. Kita sering merasa terhormat, sehingga selalu berusaha berdiri dan duduk di kursi terdepan, padahal kita bukanlah siapa-siapa. Kita sering merasa gagah, tapi kenyataannya ketika terbaring sakit dan selang infus melekat ditangan, kita tak mampu berbuat apa-apa. Kita sering merasa pantas dan mampu, tapi pada kenyataannya kita termasuk golongan yang cuma merasa bisa tanpa ada kemampuan dan keahlian dibidangnya. 

Kita sering merasa cantik/tampan, tapi pada kenyataannya kecantikan dan ketampanan itu kerapkali menjerumuskan kehidupan kita dan menjadikan kita manusia paling rendah diantara manusia-manusia lainnya. Kita selalu merasa bangga karena keluarga kita adalah pejabat atau sedang dekat dan mesra dengan sang pejabat, tapi sebenarnya kita sendiri bukan siapa-siapa dan masuk kategori rakyat biasa yang jelata. Kita merasa berasal dari keturunan terhormat atau ningrat, tapi kenyataannya perilaku dan tindakan kita dalam kehidupan sehari-hari justru menginjak-injak kehormatan tersebut. Kita tak jarang pula merasa hebat, tapi pada kenyataannya kemampuan yang kita miliki jauh lebih rendah dari orang yang kita remehkan. Kita merasa kitalah yang berhak mendapat jabatan tinggi yang diimpikan, pada kenyataannya orang lain banyak yang lebih pantas karena kemampuan serta perilaku kita tak pantas menduduki jabatan tinggi tersebut. Kita selalu merasa bahwa kitalah yang paling banyak berbuat sosial dan membantu, tapi pada kenyataannya sikap sosial kita tak lebih dari berpura-pura. Kita merasa kita adalah orang modern dan orang kota karena disini kita dilahirkan dan tinggal, tapi pada kenyataan tingkah laku kita sangatlah kampungan bahkan jauh lebih mulia orang kampung beneran.

Kita kerapkali merasa paling alim, sehingga Sorga seakan-akan sudah kita kapling untuk diri kita sendiri, tapi pada kenyataannya kealiman yang nampak itu hanya dipermukaan saja, karena yang ada adalah kesombongan dan kepicikan dalam berpikir karena menganggap orang lain durjana. Kita selalu merasa kita yang paling sukses, padahal pada kenyataannya kesuksesan yang kita raih karena hasil menyuap, menjilat bahkan merampok. Kita merasa kesuksesan yang kita raih semata-mata hasil dari kerja keras dan kemampuan sendiri sehingga sombong dan membusungkan dada, padahal banyak peran orang lain dibalik kesuksesan yang kita raih.

Kita berkoar-koar dan merasa diri kitalah yang paling demokrasi, tapi ketika ada yang berbeda pilihan, justru kita caci maki dan umbar fitnah. Kita merasa diri kita yang paling senior dan berpengalaman, tapi pada kenyataannya kesenioran dan pengalaman yang kita miliki tak berarti apa-apa bagi generasi muda (junior). Kita kerapkali merasa suara kita paling indah dan enak didengar kala mendendangkan lagu, padahal yang mendengar kesakitan telinganya. 

Kita merasa banyak berbuat dan berjasa terhadap lingkungan dan daerah, tapi pada kenyataan itu hanya keterpaksaan belaka dan bahkan karena ada keinginan terselubung dibaliknya. Kita selalu merasa setiap kalimat yang kita ucapkan atau kita tulis semua orang menyukai, tapi pada kenyataannya pujian orang hanya didepan kita saja, menoleh ke belakang sedikit saja, justru mereka sinis dan bahkan tertawa sambil menumpahkan muntah di punggung kita. Kita pun merasa karya kita yang paling indah, pada kenyataannya orang lain yang menikmati justru muntah mengeluarkan segala isi perutnya. 

Dari “merasa” ini sebetulnya saya ingin mengajak diri sendiri dan para pengejar kekuasaan 2024, mulailah dewasa (matang) dalam membaca diri sehingga kalau menang, bersikap tahu diri dan kalau kalah tetaplah memiliki karakter diri. Sebab hidup dan bermanfaat itu bukan hanya menjadi politisi. 

Salam Politisi!(*)

 

 

 

 

 

 

Tag
Share